Minggu, 31 Agustus 2014

Ramah Tamah

        Aku hafal betul kebiasaan kakek berusia 70 tahun itu setiap pagi. Ia selalu memamerkan senyum sepuluh sentinya dan mengucapkan ‘assalamualaikum’ pada orang yang lewat di depan rumahnya. Kebanyakan orang yang ia sapa akan membalas sapaannya dengan senyum yang dipaksakan. Entah apa yang menyebabkan orang itu menganggap keramahan Si Kakek sebagai sesuatu yang menjijikkan.
       Dialah Kakek Rasim. Kakek yang tinggal seorang diri di samping rumahku. Orang pertama yang menerima kedatanganku dengan tangan terbuka saat kepindahanku satu bulan yang lalu. Orang yang membuatku nyaman tinggal di rumah baruku karena keramahannya.
Namun, ada satu hal yang selalu membuatku bingung. Aku sering mendapati segerombolan ibu rumah tangga yang sejenak berhenti dan bergunjing di depan rumah Kakek Rasim.
“ Iya, itu rumahnya.” Tutur seorang ibu rumah tangga. Setelah sejenak para ibu itu mengamati rumah Kakek Rasim, para ibu itu pun bergegas untuk pergi. Aku heran mengapa Kakek Rasim yang ramah bisa-bisanya dipandang seperti seorang kriminalis.
            Apa mungkin karena pekerjaan Kakek Rasim? Jujur. Aku sangat penasaran dengan pekerjaan Kakek Rasim. Aku yang sudah sebulan bertetangga dengannya, sampai sekarang belum tahu apa sebenarnya pekerjaan Kakek Rasim. Yang aku tahu, Kakek Rasim selalu pergi bekerja dengan onthel tuanya pagi-pagi dan pulang saat matahari tepat di atas kepala.
            Atau mungkin, Kakek Rasim adalah seorang pedofil? Aaah, mana mungkin. Buktinya, Tomi, anakku yang baru berusia 5 tahun baik-baik saja setiap berkunjung ke rumahnya. Bahkan Tomi betah berkunjung di rumah Kakek Rasim.
            Lalu, apa yang salah dengan Kakek Rasim?
***
            Aku berjalan menyusuri jalan beraspal yang mulai berwarna kusam. Tak mau ketinggalan, lubang di sana sini pun ikut menggerogoti jalanan membentuk motif polkadot di atas karpet aspal.
            Pasar, tempat tujuanku sudah melambai di ujung sana. Banyak ibu rumah tangga yang berjalan berlawanan arah dariku yang sepertinya usai dari pasar. Mereka pun tersenyum dan menyapaku.
Suasanan ramah tamah yang kental membuatku kagum dan betah tinggal di desa ini. Namun ada satu hal lagi yang mengganjal dalam hatiku. Dari saat aku pindah hingga sekarang, aku tak pernah melihat ada orang yang bersepeda motor ataupun mengendarai mobil yang lewat. Apakah hal itu dilarang di sini? Lantas, mengapa?
Kakiku pun melangkah di bibir pasar. Dari kejauhan, aku menangkap bayangan yang telah ku kenal baik sedang duduk di tepi jalan. Kakek Rasim sedang menatap lurus ke jalan. Kepalanya menggeleng ke kanan-kiri dengan kecepatan yang lambat dengan mata yang awas mencari sesuatu. Sebenarnya apa yang sedang dilakukan Kakek Rasim?
“Iya, itu Kakek Rasim. Iya, aneh bukan.....” Sayup-sayup ku dengar nama Kakek Rasim disebut. Sontak aku menengok asal suara itu dan ku dapati segerombolan ibu rumah tangga sedang asyik bergunjing. Kakiku melangkah tanpa perintah untuk bergabung dalam kerumunan itu.
“Maaf, Bu. Ada apa ya?” Aku bertanya pada ibu berpostur gembul yang sepertinya menjadi ketua kelompok pergunjingan ini.
“Itu lho, Bu. Kakek Rasim. Ibu lihat orang di seberang jalan itu?” Ibu itu menunjuk Kakek Rasim.
            “Iya, Bu. Ada apa?” Tanyaku penasaran.
            “Itu Kakek yang suka mengganggu ketenangan, Bu. Maklum, Bu. Dia hidup sendiri. Sudah tua pula. Tidak heran jika suka mencari sensasi.”
            “Tapi, Bu....”
            “Eh, becak Pak!”
            Terpaksa, aku menelan sisa pertanyaaku karena ibu itu mengejar becak yang lewat. Kembali tanda tanya besar muncul di benakku. Misteri apa yang disimpan dibalik keramahan Kakek Rasim?
***
            Kali ini aku sudah tidak tahan lagi. Ku beranikan diriku untuk bertanya pada Kakek Rasim. Aku heran. Mengapa masalah sesepele ini begitu mengganjal di fikiranku? Padahal Kakek Rasim bukan bagian dari keluargaku.
            Aku pun mengambil rantang yang berisi makanan yang ku persiapkan untuk Kakek Rasim. Bukan hari ini saja aku mengirim makanan untuk Kakek Rasim. Hampir setiap hari aku mengiriminya makan siang.
            Aku pun melangkah menuju rumah Kakek Rasim. Sengatan matahari pukul dua siang dan bunyi gesekan sandal dan tanah sedikit membuat keberanianku pudar. Bukankah pekerjaan itu sah-sah saja bila ditanyakan?
            Aku sampai di depan rumah Kakek Rasim. Ku ketuk pintu rumahnya dan sosok berkulit sawo matang dengan kerutan yang memeluk tubuhnya pun membukakan pintu. Senyum sepuluh senti yang memamerkan giginya yang sudah tidak lengkap pun tak ketinggalan.
            “Eh, Dek Ani. Masuk dek.” Aku pun masuk dengan senyum mengembang di bibirku.
            “Iya, Kek.” Kakek Rasim duduk dan aku pun mengikutinya.
            “Ini, Kek. Saya bawa makanan buat Kakek. Semoga Kakek suka.” Ku sodorkan rantang putih yang ku bawa. Tangan Kakek Rasim terulur menyambut rantangku.
            “Terimakasih, Dek Ani. Adek selalu baik pada saya.”
            “Sama-sama, Kek. Kakek juga selalu baik pada saya.”
            Tawa khas orang tua milik Kakek Rasim pecah. Aku pun ikut tertawa tanpa menghilangkan rasa sopanku. Aku terdiam sejenak. Menimbang apakah ini waktu yang tepat untuk melepaskan pertanyaan yang telah ku siapkan dari rumah.
            “Kek, maaf saya ingin bertanya. Sebenarnya apa pekerjaan Kakek? Kok saya lihat setiap pagi kakek selalu pergi dengan onthel dan pulang setiap siang.
            Kakek Rasim terdiam sejenak. Mungkinkah aku salah bicara?
            “Pekerjaan Kakek itu sederhana, Dek. Kakek menjaga setiap orang agar tidak lupa arti keramah-tamahan. Agar setiap orang tetap bertegur sapa.” Senyum sepuluh senti Kakek Rasim kembali berkembang.
            Aku terdiam. Sedikit berfikir. Apa ada pekerjaan yang tidak masuk akal seperti itu? Lantas jika ada, pekerjaan macam apa itu?
            Aku sadar sudah lama aku berfikir dalam diam. Aku pun pamit kepada Kakek Rasim. Dalam perjalanan pulang yang hanya membutuhkan tidak lebih dari 50 langkah, otakku tak henti memikirkan apa sebenarnya pekerjaan Kakek Rasim. Bertanya bukannya memberiku titik terang, namun membuat tanda tanya di kepalaku menjadi lebih besar.
            “Bu Ani! Dari mana?” Lamunanku buyar oleh tangan yang menepuk pundakku. Ku tengok asal suara itu. Bu Sari.
            “Oh. Dari rumahnya Kakek Rasim. Baru saja memberi makanan dan berbincang sedikit dengan Kakek Rasim.” Jawabku dengan senyum mengembang di bibirku.
            “Loh! Bukannya Kakek Rasim sudah meninggal tadi karena serangan jantung. Warga segera melarikannya ke rumah sakit tapi terlambat. Maklum lah Bu, diantar becak mana bisa cepat? Dari dulu, setiap motor dan mobil yang melintas selalu digembosi bannya oleh Kakek Rasim. Hasilnya, sampai sekarang tidak ada mobil atau motor yang lewat di sekitar sini. Katanya, agar setiap warga tetap saling menyapa. Tapi caranya cukup meresahkan warga, Bu.”
            Jantungku bergetar. Bulu kudukku meremang. Jadi, tadi yang berbincang denganku? Mungkinkah? Arwah Kakek Rasim. Arwah yang masih sangat ramah walau tanpa raga.


Alhamdulillah, cerpen ini dimuat di Radar Bojonegoro edisi 1 Juli 2014


Kamis, 24 April 2014

Ubur-Ubur Terbang

Aku adalah manusia yang selalu terjebak dalam kebimbangan. Yang sarat akan keyakinan, namun masih menanyakan pantaskah keyakinan itu bergelayut dalam otak. Aku adalah manusia yang menggambarkan dirinya sebagai ubur-ubur yang menginginkan untuk terbang menjelajah cakrawala. 

Dan sah-sah saja kan jika aku mengharapkan itu? Manusia terbiasa hidup dengan harapan konyol bukan? Seperti aku yang mengharapkan bisa berlari tanpa menggunakan kaki. Ya. Orang bilang aku cacat. Tapi tidak bagiku. Bagiku, kakiku hanya sedang beristirahat panjang.

***

“Bella, kamu beneran mau ikut lomba lari itu?” tiba-tiba Tia duduk di sampingku.

Aku mengangguk. Aku tak menjawab perkataan atlet lari sekolah di sampingku ini. Sebab aku tahu, ada bom di mulutnya yang setiap saat siap untuk dilemparkannya padaku.

“Hahaha.. Jangan bercanda deh. Kamu mau lari pakai apa? Kruk? Kursi Roda? Atau kamu mau ngesot?” Bom Tia sudah dilemparkannya padaku tapi aku berhasil menangkisnya.

“Jangan bilang kamu takut ngelawan aku,” kataku sambil tersenyum padanya.

Raut mukanya berubah menjadi menghina.

“Siapa bilang? Logika dong. Aku tuh atlet lari di SMA ini. Sedangkan kamu? Benalu di pohon mangga. Aku gak habis pikir. Spesies seperti kamu bisa-bisanya diterima  di sekolah elit ini.” Aku yakin Tia habis makan 1 ton cabai rawit hingga perkataannya sepedas ini.

“Tia, kemampuan itu penting. Tapi yang lebih penting adalah tekad. Aku mau ke kantin dulu.” Aku pun meraih krukku dan berdiri. Tapi setelah aku mengambil langkah pertama, Tia berdiri dan menendang krukku. Otomatis aku terjatuh.

“Jadi anak itu gak usah blagu,” katanya.

Aku mencoba mengambil krukku, namun saat tanganku akan meraihnya, Tia menyeret krukku dengan kakinya.

“Kalau ada orang bicara itu harus diperhatiin.” Nada suara Tia meninggi. Aku pun menatap mata Tia dalam diam. Dalam matanya, aku melihat ada monster yang sedang mengaum memamerkan gigi tarignya. Oh Tuhan.. Bisa-bisanya aku berhadapan dengan orang seperti ini.

Tia berdiri dengan lutunya dan mendekatkan wajahnya pada wajahku. Dia meraih krukku dan memukul mukulnya ke lantai.

“Tia.. udah.. Tia.. udah.. Kamu bahkan gak ngerti kan gimana rasanya hidup dalam keterbatasan sepertiku. Kamu juga bahkan gak ngerti kan arti harapan di mataku. Harapan itu harus diwujudin. Bisa gak, gak jadi orang yang sirik yang mencoba jadi monster yang menghalangi aku meraih harapanku?” Kataku dengan berkobar-kobar.

Tia berhenti memukul-mukul krukku. Dan tepat pada saat itu, setetes air mataku bergulir di pipiku.

“Tia! Ke ruang BP sekarang!”

Aku menoleh ke asal suara itu dan mendapati Bu Ani sedang berdiri di ambang pintu. Dan saat itu pula, aku baru sadar jika teman-teman sekelasku berdiri mematung dengan mata terpaku pada kami.

Tia pun melangkahkan kakinya ke ruang BP dan Bu Ani pun menghampiriku. Beliau tersenyum dan menyerahkan krukku.  Di tanganku, nampak krukku yang babak belur. Aku pun berdiri.

“Ibu ingin bicara denganmu.” Ucap Bu Ani.

Kami pun duduk di tempat dudukku.

“Ibu dengar, kamu ikut lomba lari minggu depan ya?” Entah mengapa, pertanyaan Bu Ani serasa menusuk hatiku. Aku hanya terdiam.

“Ini sepatu roda buat kamu. Semoga ukurannya pas. Ibu yakin kamu anak yang tangguh.” Bu Ani memberikan sebuah kotak padaku dan aku menerimanya. Aku mengerutkan keningku.

“Tapi Bu? Apa dibolehin pakai sepatu roda?”

“Memang di persyaratan lomba disebutin tidak boleh memakai sepatu roda?”
Bu Ani tersenyum. Aku pun ikut tersenyum karena memang tak ada peraturan dilarang memakai sepatu roda. Akhirnya, ubur-ubur pun menemukan sayapnya untuk terbang.

***

Aku tengah bersiap-siap di kelas. Latihan seminggu membuatku yakin aku sudah mampu mengikuti lomba lari ini. Meski hasilnya lecet di sana-sini. Aku tengah memakai sepatu roda di kaki kananku. Baru saja aku hendak memakai sepatu di sebelah kiri, ada tangan yang merampas sepatu sebelah kiriku. Ternyata itu Tia.

“Sampai jumpa di garis finish.” Senyum Tia mengembang dan secepat kilat ia membawa pergi sepatu kiriku.

Aku hanya bisa memandangi punggung Tia yang perlahan menghilang dari pandangan. Aku mencoba berdiri. Namun sulit menjaga keseimbangan dengan satu sepatu roda. Apakah ini pertanda aku harus mengalah sebelum perang?

***

Kalau saja aku mengalah sebelum perang, aku tidak akan berdiri di sini sekarang. Berdiri dengan medali juara I mengalung di leherku. Aku memandang celanaku di bagian lutut yang sobek. Celana yang menjadi saksi bisu saat aku berulang kali terjatuh dan bangkit lagi.  Jatuh dan bangun, itu sepaket bukan? Begitupun halangan dan harapan.

Aku memandang kerumunan siswa yang memenuhi lapangan basket, tempat arena acara lomba lari tingkat sekolah. Bagiku, ini bukanlah kemenangan. Tapi ini pembuktian, bahwa ubur-ubur pun bisa terbang.

Cerpen ini pernah dimuat di http://blokbojonegoro.com/

Tamu Rumah Terakhir


Sedari tadi mata sayu yang dikelilingi oleh keriput itu tak henti memandangi mega merah yang beradu. Bak tumpahan jus jeruk yang menumpahi langit Illahi. Pandangan wanita tua itu terlihat kosong, tak seperti langit yang bercerita lewat awan-awan, pikiran wanita tua itu berkelana, berusaha menghubungkan benang-benang merah yang terputus dalam lingkaran otaknya. 

Ia tak henti memandang langit yang memerah. Meniti matahari yang sebundar tampah menuruni ujung langit. Wanita tua itu pun tak henti menyambung benang merah dalam fikirannya. Menyambung alasan  atas apa yang ia gelisahkan. Wanita tua itu mulai menarik napas panjang. Menghembuskannya kembali dan debu tak kasat mata di depannya pun berputar-putar.

“Duh Gusti.. Hamba merindukan anak hamba. Sudah lama ia tak berkunjung ke rumah hamba. Rumah yang sempit dan pengap ini.” Wanita tua itu merintih di depan rumahnya. Bulir-bulir air mata pun jatuh, membasahi tunas rumput yang ingin menyembulkan dirinya ke atas tanah. Ia rindu pada anak lelaki satu-satunya. Ia ingin berbincang padanya karena memang tak ada seorangpun yang tinggal bersama dengannya.

Pikirannya pun melayang di udara. Seolah berubah menjadi sosok lain dirinya yang berenang-renang di udara. Menceritakan pendapatnya tentang alasan atas apa yang ia gelisahkan.

“Anakmu mungkin sudah melupakanmu. Anakmu lebih memilih menghabiskan waktu dengan wanitanya ketimbang denganmu. Anakmu lebih memilih pergi berkunjung ke kantornya daripada rumah orang yang sudah mempertaruhkan nyawanya demi dia. Tak usah kau menghabiskan air matamu untuk menangisi orang yang belum tentu memikirkanmu. Lebih baik simpan air matamu untuk menangisi dosa-dosamu di masa lalu.” Suara itu membisiki perempuan tua yang kesepian itu.

Tangannya pun menyapu air mata di pipi. Mencoba menampik bisikan dari bayangannya agar terpental jauh dari pikirannya. Ia memijat keningnya yang sedari tadi berdenyut. “Anakku tak mungkin melupakanku” pikirnya.

Ingatannya pun terputar pada masa silam. Saat pertama kali sinar mentari menembus kornea mata anaknya dan anaknya pun menangis karena kaget melihat sinar mentari untuk pertama kalinya. Saat ia menasehati anak tersayangnya dari kesalahan yang ia buat. Saat pertama kali melepas anaknya merantau untuk mencari pekerjaan. Dan saat yang tak pernah ia lupakan, yaitu saat dia menyaksikan anak semata wayangnya mengucapkan ijab qabul untuk menimang wanita pujaannya.

Ia ingat betul wajah istri dari anaknya. Dia wanita yang tak begitu cantik, tapi sedap dipandang mata. Ia sangat menyukai senyum istri anaknya. Senyumnya membuat orang yang melihatnya sejenak menghela nafas dan ikut tersenyum. Wanita itu membersihkan pipinya yang sedari tadi teraliri air matanya. Tidak terasa ia pun juga merindukan menantunya.

Wanita itu berdiri. Sejenak memikirkan rencana yang sudah ada di benaknya yang sudah lama. Bagaimana pun yang terjadi, besok ia akan pergi ke rumah anaknya. Apapun yang terjadi, ia akan meminta anak dan menantunya untuk berkunjung ke rumahnya. Wanita tua itu pun pergi ke dalam rumahnya. Rumah yang sempit dan pengap, bahkan tak seorangpun ingin tinggal di rumahnya itu.

***

Mentari telah terbit sekitar 2 jam yang lalu. Wanita tua itu pun bersiap untuk pergi ke rumah anaknya. Walaupun dengan jarak sekitar 2 km dari rumahnya, wanita tua itu rela menempuh jarak sejauh itu dengan berjalan kaki. Wanita tua itu tak sanggup untuk membayar ongkos kendaraan, karena memang wanita itu tak punya uang sepeserpun.

Dan akhirnya, setelah melewati jarak yang jauh dan dengan keringat yang bercucuran disana-sini, wanita tua itu pun sampai di rumah anaknya. Pintu rumah anaknya terbuka. Wanita tua itu tak lantas masuk ke dalam rumah anaknya. Dengan kesopanan yang masih ia miliki, ia ingat untuk mengucap salam terlebih dulu sebelum menapakan kaki saat bertamu, termasuk rumah anaknya sendiri.

“Assalamualaikum..” Wanita tua itu mengucap salam. Suasana masih hening. Tak ada sahutan dari dalam rumah itu. Hanya ada suara detak jarum jam yang ada di ruang tamu. Wanita tua itu dengan ragu mengucap salam keduanya.

“Assalamualaikum..” Kali ini usaha wanita tua itu tidak nihil. 2 kepala menyembul dari dalam rumah menuju ruang tamu. Ternyata anak yang digadang-gadangnya telah siap untuk berangkat kerja, dengan istrinya di sampingnya.

“Hati-hati ya, Pak.” Menantunya itu pun mencium tangan suaminya.

Lelaki itu langsung pergi melewati wanita tua itu. Wanita tua yang tak lain adalah Ibunya sendiri. Tanpa pandangan sedikitpun apalagi sepatah katapun. Hati wanita tua itu serasa dipukul dengan rotan. Sakit.

Sementara itu menantunya nampak sedetik memandang wajah wanita tua itu. Sedetik saja, kemudian kembali ke dalam rumah. Wanita tua itu memegang dadanya yang sesak. Bulir air mata tak tahan lagi untuk terjatuh. 

Dengan terpaksa ia pun mengabaikan etika bertamu. Dia duduk di kursi ruang tamu sambil mengusap-usap air matanya. Pikirannya melayang di udara. Ingatan wanita tua itu menghantarkannya pada kejadian dulu. Mencoba mencari apa alasan hingga anaknya sendiri tak menganggap kehadirannya, Ibu kandungnya. Apa mungkin karena wanita tua itu terlalu keras mendidik anaknya dulu. Tapi wanita tua itu mendidik dengan keras demi kebaikan anaknya. Dia tak ingin anaknya menjadi pria yang lembek. Ia ingin anaknya menjadi pria yang tangguh. Atau mungkin, begitulah nasib orang tua seperti wanita tua itu. Terlupakan. Bahkan seakan tak pantas diajak bicara oleh anaknya sekalipun. Wanita tua itu menyeka air matanya.

“Duh Gusti. Sadarkan hati anak hamba. Hamba rindu padanya. Hamba ingin sekali dia berkunjung ke rumah hamba. Duh Gusti, ubah sikapnya pada hamba. Jangan biarkan dia berlaku durhaka seperti tadi pada hamba. Hamba tak ingin kelak dia disiksa di dalam api neraka karena sikapnya itu. ” Wanita itu merintih dalam hati pada Sang Pencipta.

Wanita tua itu berdiri. Memegang pinggangnya yang terasa linu saat ia berdiri. Kembali melangkahkan kakinya untuk pulang. Dengan tanpa apa-apa kecuali kekecewaan yang terpaksa ia telan.

***

Wanita tua itu kembali duduk di depan rumahnya. Dengan pandangan kosong, ia menerawang jauh. Melihat kanan kirinya, rumah-rumah tetangganya. Rumah tetangganya yang sama sepinya seperti rumahnya.

Wanita tua itu mendengar sesuatu di belakangnya. Ia pun berbalik badan. Senyum tersungging di bibirnya, melihat anak dan menantunya akhirnya berkunjung ke rumahnya. Anaknya tersenyum, kemudian dengan istrinya merapal doa untuk wanita tua itu. Kemudian mereka pun menyekar rumah wanita tua itu, yang mana mereka dan orang-orang lain sebut sebagai makam.

Wanita tua itu tak henti-hentinya tersenyum. Tamu yang dirindukannya, telah bertamu. Begitulah orang tua. Walau jasadnya telah tiada, beliau ingin selalu dikenang oleh anak-anaknya.

Cerpen ini pernah dimuat di http://blokbojonegoro.com/

Liontin Cinta


Tajam kupandang hamparan danau di depan mataku. Menembus partikel-partikel udara yang tak kutahu tingkat kerapatannya. Pohon-pohon dan burung-burung membisu seakan prihatin atas keadaanku saat ini. Lengkungan cakrawala seakan menggambarkan semangatku yang hampir patah.

Kugenggam erat golden love yang mengalung di leherku. Ya, golden love adalah nama liontin yang diberikan Steve kepadaku. Pandanganku melemas pada hamparan danau yang menjadi latar saat Steve mengalungkan golden love di leherku. Buliran air mata perlahan kurasa menggenang di pelupuk mataku tanda tak kuat menahan siksa kehilangan Steve. Steve telah pergi. Ah bukan pergi, tapi Steve hilang. Hilang diseret kekejaman kecelakaan pesawat. Saat kabar itu kudengar, air mataku meluap begitu dahsyatnya hingga bola mataku serasa mau lepas dari kelopaknya. Jiwaku serasa dicabut dari jasadku dan betapa sakit rasanya hingga kata derita hanya mampu mewakili 1% dari rasa sakitnya.

Tapi setitik semangat mencuat ketika kuingat janji yang terucap dari bibir manis Steve. “ Jangan menangis! Aku pasti aku pulang. Doakan saja aku selamat sampai Lombok dan menang dalam lomba basket di sana.”

Kata-kata itu kuhafal melebihi teks Pancasila dan selalu melayang-layang di benakku. Aku yakin dia akan menepati janjinya mengingat selama lima tahun bersamaku dia tak pernah berkhianat.

Namun keyakinan itu seakan memudar saat kusadar aku sudah setahun menantinya pulang. Kau tak kan mengerti rasa sakit dan gelisah yang kurasa. Saat kau berdiri tanpa alas kaki tepat di atas ribuan jarum neraka dan melihat sekelilingmu berubah menjadi awan hitam pekat dengan ribuan harapanmu gugur di depan matamu, saat itulah kau dapat merasakan penderitaanku.

Aku ingin menghindar dari siksaan ini dengan cara menghapus rasa cintaku untuk Steve. Tapi setiap kali aku mencobanya, di saat itulah siksaanku semakin berat. Ku rasa cintaku sudah menjadi salah satu organ penting dalam tubuhku untuk bertahan hidup. Aku tak tahu lagi bagaimana caranya untuk meluapkan emosiku. Aku hancur. Bahkan lebih hancur dari serpihan kaca yang jatuh dari ketinggian 100 meter.

“Sayang, pulang yuk. Ini dah hampir malem. Ntar dicariin Papa lho.” Kak Grace menghampiriku seraya duduk di sampingku.

Aku masih menatap hamparan danau di depan mataku. Aku tak peduli suara Kak Grace yang menabuh gendang telingaku.

“Kau menangis.” Tangannya menyapu air mataku yang sukses membuat mataku bengkak.

“Sayang, sesuatu yang pergi itu tak boleh ditangisi. Jika sesuatu itu benar-benar milikmu, sesuatu itu akan kembali lagi padamu. Tuhan akan memberikan jalan yang tidak terduga dalam setiap kejutannya. Sekarang, ayo pulang. Mama di rumah.”

Kalimat terakhir Kak Grace membuatku berpaling menatap mata orientalnya. Dia menuntunku ke mobil. Kupikir Mama sudah tak peduli lagi denganku. Mama pergi saat aku sedang down dan tak berbicara kepada siapapun termasuk wanita yang melahirkanku. Mamaku orangnya tak begitu sabar. Aku sempat berpikir apa dia pantas dipanggil Mama jika saat anaknya terpuruk dia malah mencari kesenangannya sendiri? Mungkin orang yang lebih pantas menjadi Mama adalah Papaku. Papa berkepribadian lembut dan sabar. Terbukti,sampai saat ini Papa masih setia menemani aku yang sudah memalukan lagi jika disebut anak. Dan Kak Grace, dialah malaikat pelindungku. Aku salut padanya karana dia rela melepas studinya di Amrik yang tinggal 1 semester lagi demi aku. Dialah kakakku satu-satunya yang sangat hebat dan patut diberi medali oleh pemerintah.

“Kita sudah sampai di rumah Dek. Sini Kakak bantuin.” Tangan Kak Grace dengan cekatan melepas sabuk pengamanku. Terdengar suara klik yang menjadi bel awal dari kejutan yang akan dibuat Mama.

Dibukalah pintu rumah olek Kak Grace. Oh God, ini bukan kejutan. Ini malapetaka.

“Lihat tuh anakmu jam segini baru pulang.” Nada emosi yang kurasa sudah mendarah daging di setiap ucapan Mama untukku itupun terdengar. Kurasa aku sudah tak dianggap anak lagi.

“Ma, Jane itu masih anak kita, bukan anak Papa saja.” Pandangan Papa berkobar-kobar saat menatap Mama.

“Aku nggak pernah sudi punya anak stres kayak dia. Percuma ngerawat dia sampek gede toh dianya jadi gak waras. “Kata-kata Mama menjelma menjadi busur api berkecepatan meteor dan menembus tepat di jantungku. Sakit bukan main hingga air mataku dengan luwesnya menari kesakitan di pipiku.

“Mama, Jane bukan nggak waras. Dia cuma depresi. Bentar lagi dia pasti sembuh.” Bentak Kak Grace kepada Mama.

“Aaah, mustahil. Udah setahun dia kayak gini. Gak bakal dia sembuh. Dia akan selamanya jadi benalu di keluarga ini.” Aku tak percaya kata-kata seperih ini terlontar dari wanita yang melahirkanku. Tak kuasa ku membela diri dengan kata-kataku. Hanya air mata yang deras mengalir yang mampu menyiratkan betapa sakit kata-kata Mama.

Tangan Kak Grace menggenggam erat tanganku. Pandangan lembutnya memenuhi kornea mataku.

“Semua yang dikatakan Mama tidak benar. Kau gadis kebanggaan keluarga ini.” Senyum menyungging di bibir Kak Grace.

“Dona! Di mana letak naluri keibuanmu? Setan apa yang meracuni pikiranmu? Apa kau lupa dulu kau sangat membanggakan anak bungsumu ini?” Papa menambah intensitas kekerasan suaranya dari semula.

“Kau tak tahu betapa malunya diriku selama setahun menanggung anak seperti dia. Aku bukan malaikat yang tak punya batas kesabaran. Aku udah muak. Aku minta cerai.” Dunia serasa runtuh. Mama minta cerai? Tak bisa kubayangkan jika Papa mengabulkan permintaan Mama.

“Kau minta cerai? Ok.” Sempurna. Bahkan lebih dari sempurna penderitaan yang menghujani diriku. Terasa seperti ada rongga besar yang menganga di hatiku. Begitu perihnya hingga kuyakin manusia terkuatpun tak bisa menahan perihnya.

Aku berlari menuju kamar. Jujur. Aku tak kuat menahan terpaan ini. Diriku bagai dandelion-dandelion yang tak berdaya terombang ambing ditiup angin.

Kututup pintu kamarku keras-keras. Aku menghambur ke ranjang dengan linangan air mata yang membanjiri pipiku. Perceraian orang tuaku, dan kehilangan Steve, cukup mampu membuat kelenjar air mataku kehabisan bahan untuk memproduksi air mata lagi.

Aku beranjak dari ranjangku. Kukangkahkan kakiku dan kujamah kardus berbalut kertas asro warna biru. Tulisan “Steve dan Jane Forever” tersenyum manis dan melekat kuat di permukaan kertas pembalut kardus itu. Tak kubiarkan setitik debu pun benda-benda keramatku ini. Kuambil 1 ikat surat-surat dari Steve. Kulepas simpul pita yang mengikat lembaran-lembaran surat dari Steve. Kuambil amplop merah jambu yang menjadi tempat naungan surat pertama Steve.
   
Dear Jane
Ijinkan hatiku ini bicara padamu. Bukan dari mulut yang bisa berdusta, melainkan dari kesucian hatiku ini akan ku ungkap semua rasaku padamu.

Sinar matamu hangatkan hariku saat mentari masih malu untuk menampakkan dirinya. Saat senyum manismu itu menyungging untukku, beban hatiku serasa terkikis habis oleh senyummu. Saat kau menyapa diriku, semua saraf tubuhku serasa di-refresh dan kembali me-connect dengan amat baik. Saat kau bicara padaku, serasa simponi indah dengan ritme teratur membelai lembut gendang telingaku. Dan saat aku di ujung jembatan mimpi, aku sadar kaulah keindahan dunia.
   
Sejenak ku penggal membaca surat dari Steve. Kutatap lembut jendela kamarku. Dua alenia surat dari Steve mengusap lembut air mata hatiku dan menarik lembut kedua sudut bibirku. Aku tersenyum.
   
            ***

Matahari telah menggeliat di ufuk timur. Aku masih tak bisa memejamkan mataku sedari tadi malam. Aku takut di alam mimpiku aka nada siksaan yang dipersiapkan untuk menjamuku. Orang tuaku resmi bercerai lima hari yang lalu. Dan saat orang tuaku bercerai, aku nekat melakukan aksi yang hampir membuat nyawaku benar-benar melayang. Aku mengiris tanganku sendiri dengan pisau dan berharap aku akan melihat gerbang dunia lain. Tapi Kak Grace datang menyelamatkanku saat aku sekarat di kamar. Percayalah, saat itu aku ingin benar-benar mati.

Hari ini tepat lima hari aku di rumah sakit. Hari-hariku di rumah sakit sangat suram. Semua hambar seperti makanan yang disediakan di sini. Gairah hidup tak kupunya lagi. Untuk apa aku hidup lagi jika sumber kebahagiaan saja sudah mampet untukku?

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ranjang rumah sakit yang kutempati. Tampak di meja tersedia makanan lengkap dengan air putihnya menunggu untuk disantap dan akan kecewa karena tak akan ku santap. Ada vas bunga, sofa, infus, peralatan medis yang wajar, dan tak ada seorangpun di sini. Sepi menenggelamkan jiwaku. Kak Grace pulang untuk mengurusi rumah, Papa masih kerja di kantor, dan angin tak kunjung membawa pulang Steve.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Betapa kaget diriku melihat pujangga yang membuka pintu itu. Aku seperti dekat sekali dengannya. Tak tahu apa yang merasuki diriku, aku senang memandangnya, hatiku damai dan aku tak mau dia pergi dari kamarku. Aku ingin dia menemaniku di hari-hariku selanjutnya.

Dia melangkah mendekatiku. Betapa wangi aroma kesejukan angin yang menerpa tubuhnya dan membelai hidungku. Dia memandangi wajahku dengan raut muka seperti anak TK yang baru belajar membaca. Ekspresi polosnya membuat hatiku damai. Aku ingin dia terus berada di sisiku.

“Maaf, salah orang.” Katanya seraya berbalik badan dan melangkah perlahan menjauhiku. Berpikir cepat Jane, tahan dia apapun caranya. Aku membuka mulutku secepatnya dengan susah payah.

“Hei!” Suaraku begitu lemah dan ajaibnya dia menengok dan mendekat padaku lagi. Thank’s God.

“Ada apa?” Suaranya membelai lembut gendang telingaku dan membuatku melayang.

Terlintas di kepalaku tentang makanan. Aku pun memintanya untuk menyuapiku. Aku yakin dia pasti mau. Setidaknya didasari rasa kasihan pada orang sakit sepertiku.

“Tolong… makan..” Aku melirik ke meja tempat makananku bernaung. Suaraku sangat amat melas sekali tanpa ku buat-buat.

“Kamu mau makan? Ya udah aku suapin ya.” Aku mengangguk. Diapun mengambil makanan di mejaku dan menyuapiku.

Aku ga tau apa sebenarnya hubunganku dengan dia. Kami baru pertama kali bertemu dan tak mengenal satu sama lain, tetapi dia begitu baik kepadaku dan aku begitu nyaman berada di dekatnya. Senyumnya menambah manis paras wajahnya dan akupun tersadar kalau wajahku tak seindah saat aku sedang sehat. Entah kenapa aku merasa panik mengingat hal itu. Aku ingin terlihat cantik di depan dia. Di tengah-tengah suapannya tiba-tiba semangat untuk kembali sembuh menghampiriku.

Tiba-tiba Kak Grace datang.

“Kamu siapa? Kok nyuapin Jane?” Tentu saja Kak Grace kaget mengingat aku tak punya teman laki-laki saat ini.

“Maaf, aku Robbi. Tadi aku salah kamar dan gak sengaja masuk ke kamar perempuan ini. Tapi tiba-tiba dia mintaa disuapin, ya udah aku suapin aja. Ngomong-ngomong, kamu siapanya dia?” Waw! Suaranya..

“Tumben banget Jane mau makan, biasanya gak mau sama sekali. Apalagi minta nyuapin orang yang baru dikenal. Aku Grace, dia Jane, adekku. By the way, makasih ya dah mau nyuapin adekku.” Kak Grace memerkenalkanku di depan Robbi dan aku berharap Robbi mengingtnya setiap hari sama seperti yang akan ku lakukan, mengingat namanya setiap hari.

“Iya, sama-sama. Tapi aku buru-buru nih, mau nyari temenku yang juga dirawat di sini. Maaf ya aku harus pergi.” Dia meletakkan piring berisi makananku ke tempat semula. Sangat menyedihkan bagiku. Dia bakal pergi.

“Rob!” Suaraku lemah dan sangat pelan namun ajaibnya dia mendengarku dan menoleh ke arahku. Benar-benar telinga gajah.

“Iya, Jane?”

“Besok, datang lagi ya.” Suaraku sangat lemah.

“Pasti.” Dia tersenyum tulus dan melangkah meninggalkan kebahagiaan tersendiri untukku.
   
            ***


Sinar lembut Sang Mentari membelaiku dan membangunkanku dari tidur lelapku tadi malam. Aku bisa tidur. Mungkin karena aku ingin tampil segar di depan mata Robbi. Walau baru pertama kali bertemu dan belum saling akrab, dia bagaikan candu bagiku yang ku inginkan setiap hari.

Semalam aku menjadi monster makanan yang sangat rakus. Tak khayal jika Kak Grace menjadi heran dan ku yakin dia juga senang melihat adik satu-satunya mau menyantap makanan. Semangat untuk segera sembuh sangat deras mengalir dalam jiwaku. Harapanku saat aku sembuh nanti aku bisa dekat dengan Robbi setiap saat. Aku begitu semangat pagi ini menunggunya datang menjengukku. Aku belum pernah merasakan sesemangat ini sebelumnya. Jujur, Robbi membuatku merasa kembali hidup. Mungkin dialah malaikat pembawa nyawa bagiku yang diutus Tuhan untuk memberi nyawa kedua untukku.

Robbi datang membawa nampan berisi makanan dengan senyum yang mampu melunglaikan seisi makhluk bumi. Dia benar-benar menawan.

“Sarapan siap… Makan ya Putri Jane, biar cepat sembuh.” Semangatnya begitu jelas tergambar dari senyumnya yang menggelora.

“Siap Pangeran Robb.” Aku tersenyum dan mengatakannya dengan nada semangat sebisaku.

Aku pun menikmati sarapan bersamanya dan bercanda ria sesukaku. Tiap detiknya bagaikan berada di tempat yang lebih indah daripada surga. Aku bahagia bersamanya meski tak ku ucap. Aku nyaman bersamanya meski kau tak ku sentuh. Dan aku ingin dia mengerti bahwa aku tak ingin dia pergi.   

            ***

Tak terasa sebulan sudah Robbi menemani hari-hariku di Rumah Sakit. Entah kekuatan apa yang mendorongnya untuk berbelas kasih merawat orang yang baru dia kenal dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Kali ini aku mengajaknya ke danau tempat pertemuan terakhirku dan Steve. Tapi ada yang berbeda dengan raut muka Robbi. Entah benar atau salah, dia lebih terlihat seperti orang linglung.

“Kamu kenapa Robb? Kamu gak nyaman dengan tempat ini? Atau ada yang salah dengan tempat ini?” 3 pertanyaan itulah yang mampu kusampaikan dari ribuan pertanyaan yang merayapi otakku saat ini.

“Aku gak apa-apa Jane. Tapi kayaknya aku dulu kenal tempat ini. Tapi aku gak yakin sih. Aah, lupakan saja. By the way, kenapa kamu ngajak aku ke tempat ini?” Wajah polos Robbi memenuhi kornea mataku dan aku menyukainya.

“Oooh, ini tempat terspesial dalam hidupku. Soalnya di sini Steve ngasih Golden Love padaku. ” Aku bercerita sekaligus curhat sedikit tentang tempat ini.

“Steve itu siapa Jane?” Lagi-lagi Robbi memukauku dengan muka polosnya.

“Dia mantan pacarku Robb.” Entah mengapa aku membubuhkan kata ‘mantan’. Padahal selama ini aku masih menganggap kalau Steve itu masih jadi pacarku.

“Oooh.” Dia tertunduk dan diam sejenak. “Lalu, Golden Love itu apa?” Tanyanya seolah dia mengintimidasiku.

Aku merogoh Golden Love yang bersarang di dalam tasku. “Ini Robb, Golden Love.”Aku memerlihatkan Golden Love yang ada dalam genggamanku.

Tiba-tiba mata Robbi menyipit. Raut mukanya berubah. Tiba-tiba dia memegang kepalanya dan meremas-remas dengan kuatnya dan meronta menjerit kesakitan.
Jeritannya menyiksaku. Aku tak kuasa melihat Robbi meronta menahan sakit. Kudekati Robbi dan kucoba tenangkan dia sebisaku.

Dan akhirnya, Robbi terjatuh pingsan. Aku menangis sambil mengusap-usap kepalanya. Mulutku seakan membisu karena sesaknya tangisku. Selang 10 menit, aku bisa berbicara karena sesak tangisku berkurang.

“Tollloonnnggg!” Aku menjerit tapi tak ada satupun orang di sekelilingku. Sadar itu hanya perbuatan yang sia-sia. Tapi tiba-tiba Robbi terbangun. Sungguh lega perasaanku.

Dia tiba-tiba memelukku dengan eratnya hingga aku sulit untuk bernafas. Aku menjadi bingung ada apa sebenarnya yang terjadi.

“Jane, aku kangen banget sama kamu.” Aku semakin bingung dengan perkataan yang terlontar dari mulut Robbi. Kenapa dia berkata seolah dia sudah mengenalku bertahun-tahun?

“Robbi! Apa maksudmu?” Aku bertanya dengan nada agak membentak.

“Robbi? Siapa itu Robbi? Aku Steve, Jane, pacar kamu? Masa kamu lupa?” Apa? Jadi selama ini Robbi itu Steve? Bagaimana bisa?

“Tapi kamu kan..” Perkataanku terpotong karena Robbi kembali memegang kepalanya dan menjerit kesakitan

“Aaaaa.. Pesawat,, jatuh,,, Papa.” Haa? Pesawat jatuh? Aku mengerti. Pasti Steve selamat dari kecelakaan itu dan akibat kecelakaan itu dia menjadi gegar otak. Jadi, Steve-ku telah kembali. Betapa bahagia diriku dan ku bisa menjalani hidupku kembali dengan tenang karena Tuhan telah mengembalikan pangeranku kepadaku.

Steve berhenti menjerit. Itu tandanya sakitnya sudah berhenti.

Cerpen ini pernah dimuat di http://blokbojonegoro.com/

Jumat, 10 Mei 2013

Saat Batik Menyentuh Korea


Aku masih tertunduk di apartemenku. Menyekat sekat-sekat waktu di depan mataku. Teringat pada artikel yang baru tadi pagi ku baca. Tentang remaja Indonesia yang mulai luntur kecintaannya pada budaya sendiri, dan memilih untuk lebih mencintai budaya asing. Terlebih budaya negara yang saat ini aku tinggali. Korea.
Aku mahasiswi asal Indonesia yang menimba ilmu di tempat kelahiran gangnam style. Aku tinggal di Ibukota Korea. Ya, Seoul. Aku berusia 20 tahun dan mendapat beasiswa kuliah di Korea. Aku sangat bahagia karena mendapat kesempatan yang langka untuk menimba ilmu di kiblat fashion remaja Asia saat ini. Namun di sisi lain, hatiku turut sedih karena mengapa tidak Indonesia saja yang menjadi kiblat Fashion remaja Asia? Padahal Indonesia punya batik yang sangat disanjung. Aahh, sudahlah.
Aku meraih buku catatan harianku. Tepatnya buku targetku. Aku sering menulis targetku dalam buku harianku. Kebiasaan ini mulai ku lakukan sejak kelas X SMA. Guru Bahasa Inggrisku kala itu berkata “Jika kalian ingin jadi orang sukses, tulislah target kalian dalam buku khusus, baik itu target harian, mingguan, bulanan, bahkan beberapa tahun yang akan datang.”
Aku membolak-balik setiap halamannya. Halaman yang kusut nan warna yang memudar dengan beberapa coretan. Syukur sekali karena sudah banyak targetku yang tercapai. Namun ada satu kalimat yang menyeret pandanganku. Mataku berakomodasi membacanya.
‘Target 2013
Menjadikan batik trendsetter di Korea’
Aku menghela nafas. Targetku yang satu ini sama sekali belum mendapat pencerahan. Aku memang belum bergerak untuk merealisasikannya. Bahkan rencanaku yang satu ini belum diketahui sama sekali oleh orang lain, termasuk sahabatku. Namun aku bertekad secepatnya aku akan melangkah merealisasikan target besarku ini. Harus.
***
“Udah bangun Din?” Aku mendengar suara Nia sebelum mataku benar-benar melek . Masih ku rasakan kotoran-kotoran kecil mengerubungi daerah sekitar mataku.
“Eh, Nia.” Aku mengucek-ngucek mataku, mengumpulkan kemampuan mataku untuk memandang dengan jernih.
“Tadi malam capek banget ya? Sampai ketiduran sambil duduk.” Pertanyaan Nia menyadarkanku kalau semalam aku memang ketiduran saking letihnya.
“Iya nih Ni. Kemarin ada praktikum yang bikin capek banget. ”
“Oh, tapi seharusnya kamu bilang makasih dong ke aku, karena aku udah ngebenerin posisi tidurmu, hehe.” Nia nyengir.
“Iya deh Ni, aku kan temen yang tahu terimakasih, jadi, makasih ya Ni.”
“Oh iya, Din. Pas kamu tidur, aku nemuin ini di tanganmu. Terus aku nggak sengaja baca pas halaman ini.” Nia menyodorkan buku targetku. Aku pun menekuni tiap inci tulisanku. Aah, ternyata harapan tentang batik. Dari ujung mataku, dapat ku lihat Nia sedang menahan tawa sambil sesekali menutupi mulutnya.
Aku pun memandang Nia sepenuhnya.
“Hahahaha... “ Nia melepaskan tawanya yang sedari tadi ia kurung rapat-rapat.
“Gila. Target kamu yang itu konyol banget. Kocak banget Din.” Aku terdiam mendengar kritikan yang lebih tepatnya ejekan dari teman sekamarku yang sekaligus menjadi sahabatku tentang targetku. Rasanya hati kecut,  muak, emosi, terasa teraduk-aduk.
“Nia! Targetku yang satu ini bukan untuk diketawain. Tapi untuk diwujudin. Apa salah aku bikin target kayak gini? Mungkin kamu pikir target ini konyol, tapi tidak bagiku. Ini targetku yang paling besar untuk memajukan budaya Indonesia. Aku nggak mau selamanya Indonesia jadi ekor. Aku ingin Indonesia jadi pemimpin. Sudah saatnya Indonesia bangun dari tidur panjangnya. Sebagai anak bangsa, aku bermimpi tentang Indonesiaku untuk menjadi yang lebih baik, Ni. Hanya itu.” Aku melontarkan batu yang sedari tadi bersarang di tenggorokanku. Batu yang berisi emosiku yang menggumpal akibat omongan Nia tadi.
Aku langsung bangkit meninggalkan Nia sendiri dan bergegas mandi. Nia terdiam cukup lama karena tamparan kalimatku tadi. Biarkan saja dia merasakan sakitnya hatiku atas omongannya tentang targetku yang satu itu.
Sampai di kamar mandi, aku terus menyortir satu persatu perasaan yang berkecamuk dalam benakku. Aku bingung pada Nia. Bisa-bisanya dia menertawakanku atas targetku yang satu itu. Bukankah dia seharusnya senang aku memiliki target untuk membuat Indonesia lebih diakui di kancah Internasional? Ataukah jangan-jangan dia tak punya gairah untuk mengangkat nama Indonesia? Apa dia ingin selamanya menjadi pengikut arus Trend dan Fashion dan tak punya gerget sedikitpun untuk menjadi pemimpin dari itu semua? Apakah dia tak juga sedetikpun memikirkan apa yang terjadi pada Indonesia 10 tahun lagi kalau sekarang saja sudah begini? Dan pertanyaan yang paling menggerogoti batinku adalah, mengapa dia menertawai targetku, apa dia juga tak ingin membantu dan menyuport-ku untuk mewujudkan targetku tentang batik?
Baiklah, jika dia sudah tahu targetku dan tak ingin membantu mewujudkannya, aku akan berjuang sendiri. Akan ku cegoki Nia dengan 1.000 tawa yang paling keras dariku atas apa yang ia tertawakan di awal. Lihat Nia. Akan ku buktikan padamu bahwa aku bisa mewujudkan target besarku itu.
Gemericik air berhenti mengalir. Aku sudah selesai mandi, dan segera bersiap-siap pergi kuliah. Kulihat Nia masih di kamar apartemen sedang bersiap-siap untuk mandi. Aku membuang muka saat berada di dekatnya. Muak aku melihat muka kecutnya.
***
Pensilku beradu dengan kertas hvs-ku. Menggoreskan tiap inci dari apa yang ku pikirkan. Menampakkan tiap piranti yang saling terhubung menjadi satu desain. Aahh memuakkan.
Ku remas kertas yang sedari tadi ku tekuni. Sudah entah berapa lembar kertas yang ku remas-remas. Desainku terlalu jelek. Kuno. Terkadang terlalu berlebihan. Aah. Aku ingin berteriak sekencang mungkin. Tapi aku ingat aku masih ada di dalam perpustakaan kampus. Mengingat satu frekuensi berlebih suara akan mendapat semburan, aku pun mengendapkan keinginanku. Hatiku meradang menahan berjuta kekesalan karena tak ku jumpai satu titik temu dari apa yang ada dalam pikiranku.
Aku mengambil nafas dalam-dalam. Mencoba menenangkan pikiranku. Sejenak meninggalkan desain busana batik yang cocok untuk remaja di Korea. Aku memijat-mijat kepalaku yang terasa sangat pening. Inikah ujungnya? Tumpul tak bertitik. Bukan. Ini bukan ujung. Tapi ini tengah. Ini proses dalam pencapaian targetku. Hal sekecil ini tak mungkin bisa menghalangiku untuk mencapai target besarku. Tak mungkin memupuskan bunga asaku yang belum mekar. Ini bumbu. Ya. Ini bumbu keberhasilan untuk mencapai targetku. Bukankah sebelum manis ada pahit dulu?  Ok! Fighting Dina! Nothing can stop your step!1
Aku mengumpulkan beberapa desain busanaku yang amburadul. Ku buang di tempat sampah yang ada di dalam perpustakaan. Sampah sedikit yang bercecer, bisa mencekik pemiliknya disini. Aku memberesi barang-barangku dan bersiap kembali ke apartemen.
***
            Jam 1 malam. Tak terasa sudah sangat lama aku bergulat dengan berlembar-lembar kertas untuk menciptakan beberapa desain busana batik. Aku membuat beberapa pakaian yang cocok dikenakan sehari-hari, tak hanya pakaian eksklusif untuk pergi ke pesta.
Ku rasakan geliatan dalam hatiku. Rasa senang yang menjalari hatiku. Rasa kemenangan yang begitu manis. Bukan kemenangan yang disimbolkan dengan medali atau piagam. Namun yang disimbolkan dengan setiap desain yang berhasil ku buat. Aku tak pernah merasa sesemangat ini sebelumnya. Entah mau jadi apa nanti desain ini, entah diterima oleh remaja Korea atau tidak, yang penting aku sudah mencoba membuatnya. Karena aku yakin setiap sesuatu yang kita buat dengan ketulusan hati, akan mendatangkan manfaat yang besar yang tidak pernah kita duga sebelumnya.
            “Din..” Aku berbalik menghadap asal suara itu. Dan secepat mungkin aku kembali berbalik menatap kertasku. Aku menyesal telah menatapnya tadi. Ternyata Nia memanggilku.
            “Ini punyamu. Maaf sebelumnya, aku coret-coret sedikit.” Nia menaruh beberapa lembar kertas tepat di atas kertas desain bajuku. Seketika itu aku langsung terpaku menatap kertas-kertas tadi. Kertas kucel. Terlihat tekstur yang penuh lipatan dan dipaksakan agar terbuka. Gambar itu. Ya. Gambar itu. Gambar desain yang tadi ku buang di tong sampah perpustakaan. Bukan main. Coretan sedikit dari tangan Nia membuat gambar di sketsaku menjadi lebih fresh dan trendy.
            Tiba-tiba ku rasakan kedua bahuku sudah terkunci oleh pelukan Nia.
            “Din, maafin aku ya. Nggak seharusnya aku ngetawain target kamu. Justru aku seharusnya ngebantu kamu buat ngewujudin target kamu itu.” Tersirat ketulusan dalam nada suara Nia.
            Sejenak ku terdiam. Memikirkan ini itu tentang perlakuannya dia tadi pagi. Mungkin aku yang terlalu kekanak-kanakan menanggapi respons Nia. Bukankah aku dan Nia sudah bersahabat lama? Baiklah, aku sadar kalau aku memang bersikap kekanak-kanakan tadi pagi.
            “Iya Nia. Aku maafin. Lagian tadi aku yang kekanak-kanakan. Ngomong-ngomong, desain kamu bagus deh.” Nia melepaskan pelukannya.
            “Iya dong Din, aku kan ngambil jurusan desain di sini.”  Lantas Nia duduk di sampingku dan menyambar selembar hvs putih untuk kemudian mendesain baju yang ada di otaknya.
            Hatiku serasa senang karena ada satu orang yang mendukungku untuk mewujudkan targetku. Bukannya satu target jika dilakukan bersama-sama akan cepat tercapai? Dan sekarang, 2 gadis Indonesia siap memperjuangkan batik di negeri gingseng.
***
            Setengah mati ku menahan untuk tetap memejamkan mataku. Ku rasakan sengatan-sengatan kecil hantaman partikel dingin yang mengenai kulit wajahku. Ayolah.. aku baru tidur jam 2 pagi, aku masih ingin merajut mimpi di dunia mimpiku.
            “Bangun Dina! Udah pagi. Kita punya misi lagi.” Tubuhku rasanya remuk di goyang-goyang Nia. Misi apa lagi sih? Entar juga bisa.
            “Bangun bangun bangun!” kali ini suara Nia makin menggelegar dan cipratan-cipratan air pun makin banyak menghantam kulit wajahku.
            “Oke oke! Aku bangun.” Setengah mati aku mencoba mengangkat badanku. Mataku masih terpejam namun tak sedamai 1 jam yang lalu.
            “Kita harus, kudu, musti bin wajib buat nyetorin desain kita ke butik-butik remaja di sini Din. Kan kalo keterima dan dijadiin baju target kamu kan udah mulai tercapai.” Nia sangat bersemangat hingga gendang telingaku bergetar 2 kali lebih keras dari semula.
            “Oke, aku tahu. Tapi tak sepagi ini kali Ni.” Mataku sayup-sayup masih terpejam.
            What? Pagi? Dina, ini udah  jam 10 Din.”
            Sontak aku membuka mataku, tanpa ba-bi-bu lagi aku langsung ke kamar mandi dan mengguyur tubuhku. Ya Tuhan, sudah pukul 10? Untung hari ini kuliah-ku free. Jadi aku bisa ngeluangin semua waktuku buat promosi desain busanaku dan Nia. Semoga saja diterima.
***
            Aku memandangi wajah pemilik butik ini. Butik kelima yang sudah ku datangi. Setengah mati aku mencoba menafsirkan air muka ibu itu. Mataku masih mencari titik temu atas apa yang ku tanyakan dalam hatiku? Apa diterima? Atau ditolak?
            Mata ibu itu masih menekuri tiap inci desain busanaku dan Nia. Terdengar helaan nafas panjang seolah ibu itu akan memulai kutukannya, atau mungkin mantra kebahagiaan? Entahlah.
            “Maaf, saya tidak bisa menerima desain baju ini.” Ibu itu dengan tegas berkata demikian dengan bahasa Korea. Ya sudah, mau apa lagi. Tanpa pikir panjang, aku langsung meninggalkan butik itu tanpa memberi ucapan salam, berbeda dengan Nia. Kecewa.
            Aku menekuri tiap salju di jalanan kota Seoul ini. Menghubungkan huruf A dan Z seperti menghubungkan batik dengan Kota ini? Entahlah. Mungkin saja batik tidak cocok dengan kota ini. Terbukti. Sudah 5 butik yang kami datangi menolak desain busanaku dan Nia. Desain yang kami tekuni sehari semalam tanpa memikirkan matahari mulai bergeser kemana.
            Mungkin, inilah akhirnya. Perjuangan yang sia-sia.
            Bruak.. tiba-tiba aku menabrak seseorang. Alhasil desain baju di tanganku pun berhamburan.
            Mianhae2” ucapku pada orang yang kutabrak.
            Orang itu pun terdiam sambil memegang salah satu desain baju batik yang luput dari tanganku.  Senyum mengembang di bibirnya.
***
            Siapa sangka orang yang kutabrak 2 pekan lalu adalah desainer ternama di Korea? Siapa sangka desainku dan Nia sudah menjadi busana yang seutuhnya dan dipamerkan seantero Korea? Siapa sangka sekarang desain kami sudah menjamur dan dipakai hampir semua remaja Korea dalam keseharian mereka? Siapa sangka batik sudah menjadi trendsetter di Korea? Siapa sangka aku dan Nia direkrut sebagai desainer busana batik di Korea?
            Mungkin dua pekan yang lalu adalah akhir dari targetku. Tapi aku sadar, masih ada yang paling akhir dari akhir. Dan yang paling akhir, targetku tercapai. Aku berhasil menjadikan batik sebagai trendsetter di Korea. Tak hanya itu, aku pun mendapat bonus menjadi desainer di negeri gingseng ini. Aku percaya, Kerja keras akan ada balasannya. Dan batik adalah harta karun Indonesia yang harus dilestarikan dan dipromosikan.
TAMAT.

Jumat, 08 Maret 2013

Satu Nafas Terakhir, Part 3

Cerbung
Genre : Sad Romance

             Tiba-tiba ku dengar pintu kamarku terbuka. Sudah bisa dipastikan Bi Surti yang membukanya. Masuk ke kamarku membawa nampan berisi bubur sebagai sarapanku dan obat-obatku yang ku kira jumlahnya ada lah 5 jenis. Huufftt.. Selalu saja pagi hari diawali dengan prosesi seperti ini.
            “Non, sarapannya..” Aku memandang Bi Surti sejenak dan menyunggingkan seulas senyum. Mood-ku di pagi hari selalu baik, tidak seperti siang atau sore hari.
            “Taroh aja Bi.” Aku kembali menatap jendela, menikmati guratan sinar mentari yang lembut. Sesuatu hal yang sangat ku sukai. Kehangatan dari sinar mentari.
            Aku menghampiri nampan yang dibawa Bi Surti tadi. Ku angkat mangkuk yang menjadi tempat bubur ayamku bernaung. Ku garuk dengan sendok bagian puncaknya. Mengunyah dengan perlahan namun pasti. Terkadang, semangatku untuk hidup kembali mencuat, namun disaat tertentu juga, keputusasaan begitu mengurung diriku. Menghimpit dan memecahkan harapanku hingga ku rasa semua yang ku lakukan tidak ada gunanya.
            Aku menyisakan setengah mangkuk bubur sarapanku. Ku comot 5 jenis obat untuk penyakitku yang tak ku tahu persis fungsinya. Ku ambil segelas air putih dan memelannya bersama air. Obat-obatan itu terasa hambar di lidahku karena sudah terbiasa aku mengonsumsinya.
            Ritual selanjutnya adalah menyiram tubuhku dan membersihkannya. Setelah itu, melesat menuju danau dan menikmati kedamaian pagi.
***
            Seseorang telah duduk di tepi danau. Membuatku menyipitkan mataku dan memutar ingatanku ke masa silam. Aku berani bertaruh kalau aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Aku pun menyapanya.
            “Hei, maaf kamu siapa ya?” Sebisa mungkin aku bersikap ramah pada orang ini.
            Dia berbalik menatapku.
            “Ooh, aku Marcel. Kalau kamu?”senyum hangat menyambutku.
            Aku mendekatinya dan duduk di sampingnya. Jarak 1 meter memisahkan kami.
            “Aku Rachel. By the way, kamu kok bisa disini?” Tanpa basa basi lagi aku menanyakan hal yang ingin ku ketahui sedari tadi.
            “Aku hanya mencari ketenangan dan menemukan tempat ini. Kamu juga kok bisa ada di sini.” Hampir saja aku tertawa mendengar pertanyaan itu darinya. Jelas lah aku bisa di sini, ini tempat kan punya Papaku.
            “Ini sudah jadi kebiasaanku. Berkunjung di danau ini. Melepas penat dan mencari kedamaian.” Ku palingkan wajahku saat ku katakan ini padanya.
            Kami pun terdiam lumayan lama. Nampaknya pemuda ini tidak banyak bicara. Namun dari wajahnya, dapat ku lihat jika dia bukan pemuda yang cuek. Dia sosok yang lembut.
            “Tempat ini indah. Baru kali ini aku berkunjung di tempat seindah ini. Apalagi ada ratusan ikan koi di

Senin, 25 Februari 2013

Satu Nafas Terakhir, Part 02

Cerbung
Genre : Sad Romance

Saat aku terkapar, dadaku masih terasa sakit. Aku hanya bisa merintih dan semuanya pun terasa memudar. Hingga akhirnya, aku menutup mataku
***
            Saat pertama kali aku membuka mata, yang ku lihat pertama kali adalah Papa, Pak Bambang, Pak Ali, Bi Surti, dan Dokter Rama. Sudah ku duga. Pasti akan ada yang menemukanku pingsan dan membawaku ke kamarku seperti biasanya.
            “Rachel, kan Papa sudah bilang. Jangan pergi sendirian apalagi ke tempat yang jauh. Kalau sudah gini Papa jadi khawatir. Kamu itu anak satu-satunya Papa Chel. Ingat kondisimu. Penyakit kamu tuh sudah parah, Nak.” Prolog dari Papa sungguh memuakkan bagiku.
            “Ooh, jadi Papa pengen kalo Rachel diem terus di rumah. Nungguin kematian Rachel dengan gak ngapa-ngapain?” Aku berkata dengan ketus.
            “Bukan begitu, Nak. Papa gak ngelarang Rachel buat keluar rumah kok. Hanya saja, kalau Rachel pengen keluar rumah harus ada orang yang nemenin.” Papa menasihatiku dengan kata-kata yang sama dengan kemarin, kemarin, dan kemarinnya lagi. Aku tahu ini baik untukku. Tapi entah kenapa malah aku selalu muak jika Papa menasihatiku seperti ini.
            “Pa, aku gak mau ngerepotin mereka dengan nemenin aku main. Mereka punya banyak pekerjaan yang banyak untuk ngerawat rumah segede ini. Lagian Papa tau sendiri kan, kalo aku tuh sukanya sendirian.” Kali ini suaraku terdengar lebih halus.
            “Kita gak kerepotan kok, Non. Lagian kan ini kewajiwab kita juga, Non.” Pak Ali, tukang kebun menyambar berbicara.
            “Heh.. Gak usah ikut campur omongan gue ama Papa. Diem aja napa? Tugas loe tuh cuma nyukurin serut tuh di taman. Cepet pergi!” Aku mengusir Pak Ali.
            Pak Ali pun pergi dengan muka tertunduk. Merasa bersalah mungkin. Atau mungkin berlaga sopan di depan Papa. Entahlah.
            “Kalian kenapa gak nyusul Si Ali? Malah bengong disini. Udah cepetan pergi!” Aku mengusir semua orang kecuali Papaku yang ada dalam kamarku. Mereka pun pergi dengan muka tertunduk seperti yang dilakukan Pak Ali.
            Tinggallah Papa di dalam bersamaku. Kali ini kami berada dalam kediaman untuk sejenak, dan Papa pun mulai berbicara.
            “Apa kamu akan mengusir Papa?” Pertanyaan yang singkat namaun menancap erat di pikiranku. Terdengar sebuah sindiran atas perlakuanku kepada pegawai-pegawai rumah Papa yang aku sadari sangat tidak sopan.
            “Tentu tidak ,Pa.” Aku kembali terdiam dan mamandangi air muka Papa yang menyiratkan kesedihan, harapan dan kekecewaan.
            “Rachel, kamu itu anak yang pintar. Bahkan kamu bisa memahami tiap pelajaran yang diberikan oleh guru home schooling yang kualitasnya terbaik se-Indonesia dalam keadaan sakit parah. Tapi setidaknya jaga kesopanan kamu, Nak. Mereka itu orang-orang yang lebih tua dari kamu dan berjasa untuk kita. Papa tahu. Kamu bersikap tak sopan karena kamu tertekan atas kondisi kamu. Tapi setidaknya hargai mereka sedikit saja.” Papa kembali berprolog menyebalkan.
            “Pa, aku capek. Aku males berdebat.” Aku berniat menyudahi pembicaraan kami dan menginginkan Papa untuk pergi dari kamarku.
            “Ya sudah, Papa mau ngurusin kerjaan Papa dulu. Papa tadi nyuruh Bu Resty pulang. Toh kamu baru aja pingsan jadi pastinya tidak siap menerima pelajaran.” Papa melangkah keluar kamar dan menutup pintu kamarku.
            Tinggallah aku sendiri dalam kamarku. Menikmati hawa sepi yang sangat aku puja. Ku palingkan wajahku ke kanan. Dan nampak meja berlapis cat putih bersih yang diatasnya berderet rapi obat-obatan untuk penyakit kankerku ini. Pemandangan yang sangat membosankan bagiku. Sudah 13 tahun pemandangan itu selalu menghiasi kamarku walaupun desain kamarku sudah berubah. Aku bahkan bertanya