Kamis, 06 September 2012

A Hope




While you had a hope, you were trying to create it.
            You wouldn’t give in.
            Until it was created.
            But I wasn’t so.

            Di sudut kamarku , aku biasa menghabiskan malamku, untuk menanti fajar tiba. Aku memang punya penyakit insomnia. Insomnia-ku ini, bukan tanpa disengaja. Tapi aku sengaja.
            Seperti sekarang ini. Aku berjuang melawan rasa kantukku yang sudah hambar rasanya. Sangat lemah, karena ku sudah terbiasa membendungnya. Bertemankan i-phone dan diaryku, aku berdiam diri di sudut kamar. Ku putar lagu-lagu yang menggambarkan sosok seorang gadis yang patah hati karena cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Alunan melodi itu menuntunku untuk menuangkan emosiku di setiap lembar diaryku.

            Dear Diary

            Seperti malam-malam sebelumnya, aku kembali menorehkan setiap detil emosiku kepadamu. Aku sangat tersiksa dengan rasa cintaku padanya. Aku ingin membakar habis rasa ini. Tapi aku tak punya kekuatan lebih. Setiap kali aku mencobanya, dorongan untuk memilikinya, merasakan belaian darinya, bisa menangis di dekapannya, mengelus pipinya, memeluknya, mendorongku sama hebatnya dengan saat pertama kali aku menyadari rasaku ini adalah perasaan cinta untuknya. Aku tak berdaya karena cintaku.