Senin, 25 Februari 2013

Satu Nafas Terakhir, Part 02

Cerbung
Genre : Sad Romance

Saat aku terkapar, dadaku masih terasa sakit. Aku hanya bisa merintih dan semuanya pun terasa memudar. Hingga akhirnya, aku menutup mataku
***
            Saat pertama kali aku membuka mata, yang ku lihat pertama kali adalah Papa, Pak Bambang, Pak Ali, Bi Surti, dan Dokter Rama. Sudah ku duga. Pasti akan ada yang menemukanku pingsan dan membawaku ke kamarku seperti biasanya.
            “Rachel, kan Papa sudah bilang. Jangan pergi sendirian apalagi ke tempat yang jauh. Kalau sudah gini Papa jadi khawatir. Kamu itu anak satu-satunya Papa Chel. Ingat kondisimu. Penyakit kamu tuh sudah parah, Nak.” Prolog dari Papa sungguh memuakkan bagiku.
            “Ooh, jadi Papa pengen kalo Rachel diem terus di rumah. Nungguin kematian Rachel dengan gak ngapa-ngapain?” Aku berkata dengan ketus.
            “Bukan begitu, Nak. Papa gak ngelarang Rachel buat keluar rumah kok. Hanya saja, kalau Rachel pengen keluar rumah harus ada orang yang nemenin.” Papa menasihatiku dengan kata-kata yang sama dengan kemarin, kemarin, dan kemarinnya lagi. Aku tahu ini baik untukku. Tapi entah kenapa malah aku selalu muak jika Papa menasihatiku seperti ini.
            “Pa, aku gak mau ngerepotin mereka dengan nemenin aku main. Mereka punya banyak pekerjaan yang banyak untuk ngerawat rumah segede ini. Lagian Papa tau sendiri kan, kalo aku tuh sukanya sendirian.” Kali ini suaraku terdengar lebih halus.
            “Kita gak kerepotan kok, Non. Lagian kan ini kewajiwab kita juga, Non.” Pak Ali, tukang kebun menyambar berbicara.
            “Heh.. Gak usah ikut campur omongan gue ama Papa. Diem aja napa? Tugas loe tuh cuma nyukurin serut tuh di taman. Cepet pergi!” Aku mengusir Pak Ali.
            Pak Ali pun pergi dengan muka tertunduk. Merasa bersalah mungkin. Atau mungkin berlaga sopan di depan Papa. Entahlah.
            “Kalian kenapa gak nyusul Si Ali? Malah bengong disini. Udah cepetan pergi!” Aku mengusir semua orang kecuali Papaku yang ada dalam kamarku. Mereka pun pergi dengan muka tertunduk seperti yang dilakukan Pak Ali.
            Tinggallah Papa di dalam bersamaku. Kali ini kami berada dalam kediaman untuk sejenak, dan Papa pun mulai berbicara.
            “Apa kamu akan mengusir Papa?” Pertanyaan yang singkat namaun menancap erat di pikiranku. Terdengar sebuah sindiran atas perlakuanku kepada pegawai-pegawai rumah Papa yang aku sadari sangat tidak sopan.
            “Tentu tidak ,Pa.” Aku kembali terdiam dan mamandangi air muka Papa yang menyiratkan kesedihan, harapan dan kekecewaan.
            “Rachel, kamu itu anak yang pintar. Bahkan kamu bisa memahami tiap pelajaran yang diberikan oleh guru home schooling yang kualitasnya terbaik se-Indonesia dalam keadaan sakit parah. Tapi setidaknya jaga kesopanan kamu, Nak. Mereka itu orang-orang yang lebih tua dari kamu dan berjasa untuk kita. Papa tahu. Kamu bersikap tak sopan karena kamu tertekan atas kondisi kamu. Tapi setidaknya hargai mereka sedikit saja.” Papa kembali berprolog menyebalkan.
            “Pa, aku capek. Aku males berdebat.” Aku berniat menyudahi pembicaraan kami dan menginginkan Papa untuk pergi dari kamarku.
            “Ya sudah, Papa mau ngurusin kerjaan Papa dulu. Papa tadi nyuruh Bu Resty pulang. Toh kamu baru aja pingsan jadi pastinya tidak siap menerima pelajaran.” Papa melangkah keluar kamar dan menutup pintu kamarku.
            Tinggallah aku sendiri dalam kamarku. Menikmati hawa sepi yang sangat aku puja. Ku palingkan wajahku ke kanan. Dan nampak meja berlapis cat putih bersih yang diatasnya berderet rapi obat-obatan untuk penyakit kankerku ini. Pemandangan yang sangat membosankan bagiku. Sudah 13 tahun pemandangan itu selalu menghiasi kamarku walaupun desain kamarku sudah berubah. Aku bahkan bertanya

Sabtu, 23 Februari 2013

Satu Nafas Terakhir, Part 01


Cerbung
Genre : Sad Romance

            Seandainya aku bisa memilih, aku tak akan memilih untuk dilahirkan di dunia ini. Aku lebih memilih untuk hidup selamanya di surga tanpa harus diuji di tempat di tempat siksaan dan penderitaan bernama bumi ini.
            Tapi Tuhan berkata lain. Seperti pada dasarnya, sesuatu yang baik akan selalu diiringi dengan sesuatu yang buruk. Begitu pun takdirku. Ku rasa, takdirku berat sebelah. Takdir burukku lebih berat darpada takdir baikku.
            Sejarahku sangat pahit. Mungkin setara dengan pahitnya buah maja. Entahlah. Masa kecilku ku habiskan bersama Papaku. Jangan bertanya soal Mamaku. Aku bahkan tak pernah melihat mata eloknya secara langsung. Mamaku meninggal saat aku dilahirkan. Kandungan Mamaku terkena komplikasi dan hanya aku yang bisa diselamatkan. Itu pun dengan jalan menyayat kulit rahim Mamaku. Menyakitkan bukan? Tentu.
            Dan saat masa sekolahku, aku hanya menghabiskannya di rumah. Menatap lugu wajah guru dalam atmosfer rumah yang pengap akan hiruk piruk keasyikan dunia luar. Aku home schooling dari TK hingga SMA kelas XII saat ini. Fisikku sangat lemah hingga aku tidak diperbolehkan untuk menimba ilmu di sekolah umum.
            Pepatah ‘ bagai burung dalam sangkar emas’ memang berlaku dalam hidupku. Harta? Aku berharap kau tak bertanya soal itu. Aku yakin perlu waktu 1 jam untuk mendiskripsikannya. Itu pun jika tidak ada jeda. Tapi manusia butuh bernafas. Jadi ku yakin akan lebih dari 1 jam untuk mendiskripsikannya. Intinya, Papaku adalah orang yang sangat kaya dan mendapat predikat orang terkaya se-ASIA.
            Tapi apa arti harta jika aku akan meninggalkannya sebentar lagi? Mungkin 1 atau 2 bulan lagi. Atau bahkan 5 menit lagi aku akan menghembuskan nafas terakhirku. Mungkin saja. Penyakit kanker jantung yang menggerogoti tubuhku dari saat ku kanak-kanak kini sudah mencapai stadium akhir. Artinya, instrument lagu kematianku sudah siap untuk disenandungkan. Sudah tak ada harapan lagi untukku saat ini. Tidak mungkin ada orang yang mau merelakan nyawanya hanya untuk seseorang yang tidak ia kenal sepertiku. Aku pun tak tega untuk merenggut nyawa seseorang yang diberi kesempatan Tuhan untuk hidup lama. Untuk bisa merajut mimpi dan mewujudkannya kelak di suatu hari. Untuk bisa menikmati indahnya berumah tangga. Untuk bisa melihat anak cucunya tertawa ceria di sekelilingnya. Untuk bisa meninggal dunia secara wajar.
            Aku tak ingin dan tak akan menjadi monster yang merenggut kegemilangan itu. Ini takdirku dan aku tak ingin menyeret seorangpun dalam takdir kelamku ini. Biarkan saja aku yang merasakannya. Tertatih nestapa dalam kelamnya dunia.
***
            Sedari tadi aku masih melempar pakan ikan di danau buatan yang terhampar di depanku ini. Terbukti kan. Papaku orang yang sangat kaya raya hingga bentukan alam berupa danau pun bisa dibuatnya. Danau ini sudah menjadi teman setiaku saat aku masih kanak-kanak. Dan dalam danau ini, terdapat ratusan ikan koi yang ku pelihara sejak aku kecil.
            Teringat saat dulu ku merengek meminta dibuatkan danau di belakang rumah. Sangat konyol memang. Dulu aku bermimpi akan menjadi putri duyung yang cantik jelita dengan segerombolan ikan koi yang hidup di danau itu. Tapi sekarang, mimpi itu menjadi hal konyol dalam sejarah hidupku. Putri duyung hanya hidup di negeri dongeng. Dan sekarang aku hidup di dunia nyata. Imajinasiku terlampau tinggi saat aku masih kanak-kanak.
            Aku menenggelamkan kakiku hingga air menyentuh mata kakiku. Menggerak-gerakannya pelan. Mengundang kawanan ikan mendekatinya. Gerakan lembut ikan yang melewati kakiku membuatku merasakan kedamaian.
            Aku mulai menghela nafas panjang. Menghembuskannya dengan lembut seraya berkata
            “Fishy,  pagi yang sangat cerah untuk hari ini. Tapi awan pekat tak kunjung pergi dari hatiku. Hatiku masih kelam. Saatnya akan segera tiba. Saat-saat dimana kita tak bisa bermain bersama lagi seperti saat ini. Saat-saat dimana aku tak bisa memberimu makan seperti sekarang ini. Dan saat-saat aku berbagi kisah bersamamu seperti saat ini. Kalau aku sudah benar-benar pergi, jangan nakal ya. Berkembangbiak yang banyak. Jadilah maskot keberuntungan bagi Papaku. Hibur Papaku saat dia sedang suntuk. Ok!” Mungkin aku sudah gila. Berbicara sendiri dengan ikan-ikan yang jelas-jelas berbeda bahasa denganku. Tapi faktanya, ini sudah menjadi ritualku jika aku berada di danau ini. Mengadu pada segerombolan ikan yang menjadi teman hidupku. Aku sangat menyayangi mereka hingga mereka ku beri nama Fishy.
            Aku menatap hamparan pohon yang ada di seberang danau. Matahari sudah agak condong membentuk sudut 45 derajad. Aku melirik arlojiku. Pukul 09.00. Saatnya untukku pulang. Bersiap untuk