Genre : Sad Romance
Saat
aku terkapar, dadaku masih terasa sakit. Aku hanya bisa merintih dan semuanya
pun terasa memudar. Hingga akhirnya, aku menutup mataku
***
Saat pertama kali aku membuka mata,
yang ku lihat pertama kali adalah Papa, Pak Bambang, Pak Ali, Bi Surti, dan
Dokter Rama. Sudah ku duga. Pasti akan ada yang menemukanku pingsan dan
membawaku ke kamarku seperti biasanya.
“Rachel, kan Papa sudah bilang.
Jangan pergi sendirian apalagi ke tempat yang jauh. Kalau sudah gini Papa jadi
khawatir. Kamu itu anak satu-satunya Papa Chel. Ingat kondisimu. Penyakit kamu
tuh sudah parah, Nak.” Prolog dari Papa sungguh memuakkan bagiku.
“Ooh, jadi Papa pengen kalo Rachel
diem terus di rumah. Nungguin kematian Rachel dengan gak ngapa-ngapain?” Aku
berkata dengan ketus.
“Bukan begitu, Nak. Papa gak
ngelarang Rachel buat keluar rumah kok. Hanya saja, kalau Rachel pengen keluar
rumah harus ada orang yang nemenin.” Papa menasihatiku dengan kata-kata yang
sama dengan kemarin, kemarin, dan kemarinnya lagi. Aku tahu ini baik untukku.
Tapi entah kenapa malah aku selalu muak jika Papa menasihatiku seperti ini.
“Pa, aku gak mau ngerepotin mereka
dengan nemenin aku main. Mereka punya banyak pekerjaan yang banyak untuk
ngerawat rumah segede ini. Lagian Papa tau sendiri kan, kalo aku tuh sukanya sendirian.”
Kali ini suaraku terdengar lebih halus.
“Kita gak kerepotan kok, Non. Lagian
kan ini kewajiwab kita juga, Non.” Pak Ali, tukang kebun menyambar berbicara.
“Heh.. Gak usah ikut campur omongan
gue ama Papa. Diem aja napa? Tugas loe tuh cuma nyukurin serut tuh di taman.
Cepet pergi!” Aku mengusir Pak Ali.
Pak Ali pun pergi dengan muka
tertunduk. Merasa bersalah mungkin. Atau mungkin berlaga sopan di depan Papa.
Entahlah.
“Kalian kenapa gak nyusul Si Ali?
Malah bengong disini. Udah cepetan pergi!” Aku mengusir semua orang kecuali
Papaku yang ada dalam kamarku. Mereka pun pergi dengan muka tertunduk seperti
yang dilakukan Pak Ali.
Tinggallah Papa di dalam bersamaku.
Kali ini kami berada dalam kediaman untuk sejenak, dan Papa pun mulai
berbicara.
“Apa kamu akan mengusir Papa?”
Pertanyaan yang singkat namaun menancap erat di pikiranku. Terdengar sebuah
sindiran atas perlakuanku kepada pegawai-pegawai rumah Papa yang aku sadari
sangat tidak sopan.
“Tentu tidak ,Pa.” Aku kembali
terdiam dan mamandangi air muka Papa yang menyiratkan kesedihan, harapan dan
kekecewaan.
“Rachel, kamu itu anak yang pintar.
Bahkan kamu bisa memahami tiap pelajaran yang diberikan oleh guru home
schooling yang kualitasnya terbaik se-Indonesia dalam keadaan sakit parah. Tapi
setidaknya jaga kesopanan kamu, Nak. Mereka itu orang-orang yang lebih tua dari
kamu dan berjasa untuk kita. Papa tahu. Kamu bersikap tak sopan karena kamu
tertekan atas kondisi kamu. Tapi setidaknya hargai mereka sedikit saja.” Papa
kembali berprolog menyebalkan.
“Pa, aku capek. Aku males berdebat.”
Aku berniat menyudahi pembicaraan kami dan menginginkan Papa untuk pergi dari
kamarku.
“Ya sudah, Papa mau ngurusin kerjaan
Papa dulu. Papa tadi nyuruh Bu Resty pulang. Toh kamu baru aja pingsan jadi
pastinya tidak siap menerima pelajaran.” Papa melangkah keluar kamar dan
menutup pintu kamarku.
Tinggallah aku sendiri dalam
kamarku. Menikmati hawa sepi yang sangat aku puja. Ku palingkan wajahku ke
kanan. Dan nampak meja berlapis cat putih bersih yang diatasnya berderet rapi
obat-obatan untuk penyakit kankerku ini. Pemandangan yang sangat membosankan
bagiku. Sudah 13 tahun pemandangan itu selalu menghiasi kamarku walaupun desain
kamarku sudah berubah. Aku bahkan bertanya