Genre : Sad Romance
Tiba-tiba
ku dengar pintu kamarku terbuka. Sudah
bisa dipastikan Bi Surti yang membukanya. Masuk ke kamarku membawa nampan
berisi bubur sebagai sarapanku dan obat-obatku yang ku kira jumlahnya ada lah 5
jenis. Huufftt.. Selalu saja pagi hari diawali dengan prosesi seperti ini.
“Non, sarapannya..” Aku memandang Bi
Surti sejenak dan menyunggingkan seulas senyum. Mood-ku di pagi hari selalu
baik, tidak seperti siang atau sore hari.
“Taroh aja Bi.” Aku kembali menatap
jendela, menikmati guratan sinar mentari yang lembut. Sesuatu hal yang sangat
ku sukai. Kehangatan dari sinar mentari.
Aku menghampiri nampan yang dibawa
Bi Surti tadi. Ku angkat mangkuk yang menjadi tempat bubur ayamku bernaung. Ku
garuk dengan sendok bagian puncaknya. Mengunyah dengan perlahan namun pasti.
Terkadang, semangatku untuk hidup kembali mencuat, namun disaat tertentu juga,
keputusasaan begitu mengurung diriku. Menghimpit dan memecahkan harapanku
hingga ku rasa semua yang ku lakukan tidak ada gunanya.
Aku menyisakan setengah mangkuk
bubur sarapanku. Ku comot 5 jenis obat untuk penyakitku yang tak ku tahu persis
fungsinya. Ku ambil segelas air putih dan memelannya bersama air. Obat-obatan
itu terasa hambar di lidahku karena sudah terbiasa aku mengonsumsinya.
Ritual selanjutnya adalah menyiram
tubuhku dan membersihkannya. Setelah itu, melesat menuju danau dan menikmati
kedamaian pagi.
***
Seseorang telah duduk di tepi danau.
Membuatku menyipitkan mataku dan memutar ingatanku ke masa silam. Aku berani
bertaruh kalau aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Aku pun menyapanya.
“Hei, maaf kamu siapa ya?” Sebisa
mungkin aku bersikap ramah pada orang ini.
Dia berbalik menatapku.
“Ooh, aku Marcel. Kalau kamu?”senyum
hangat menyambutku.
Aku mendekatinya dan duduk di
sampingnya. Jarak 1 meter memisahkan kami.
“Aku Rachel. By the way, kamu kok
bisa disini?” Tanpa basa basi lagi aku menanyakan hal yang ingin ku ketahui sedari
tadi.
“Aku hanya mencari ketenangan dan
menemukan tempat ini. Kamu juga kok bisa ada di sini.” Hampir saja aku tertawa
mendengar pertanyaan itu darinya. Jelas lah aku bisa di sini, ini tempat kan
punya Papaku.
“Ini sudah jadi kebiasaanku.
Berkunjung di danau ini. Melepas penat dan mencari kedamaian.” Ku palingkan
wajahku saat ku katakan ini padanya.
Kami pun terdiam lumayan lama.
Nampaknya pemuda ini tidak banyak bicara. Namun dari wajahnya, dapat ku lihat
jika dia bukan pemuda yang cuek. Dia sosok yang lembut.
“Tempat ini indah. Baru kali ini aku
berkunjung di tempat seindah ini. Apalagi ada ratusan ikan koi di