Kamis, 24 April 2014

Ubur-Ubur Terbang

Aku adalah manusia yang selalu terjebak dalam kebimbangan. Yang sarat akan keyakinan, namun masih menanyakan pantaskah keyakinan itu bergelayut dalam otak. Aku adalah manusia yang menggambarkan dirinya sebagai ubur-ubur yang menginginkan untuk terbang menjelajah cakrawala. 

Dan sah-sah saja kan jika aku mengharapkan itu? Manusia terbiasa hidup dengan harapan konyol bukan? Seperti aku yang mengharapkan bisa berlari tanpa menggunakan kaki. Ya. Orang bilang aku cacat. Tapi tidak bagiku. Bagiku, kakiku hanya sedang beristirahat panjang.

***

“Bella, kamu beneran mau ikut lomba lari itu?” tiba-tiba Tia duduk di sampingku.

Aku mengangguk. Aku tak menjawab perkataan atlet lari sekolah di sampingku ini. Sebab aku tahu, ada bom di mulutnya yang setiap saat siap untuk dilemparkannya padaku.

“Hahaha.. Jangan bercanda deh. Kamu mau lari pakai apa? Kruk? Kursi Roda? Atau kamu mau ngesot?” Bom Tia sudah dilemparkannya padaku tapi aku berhasil menangkisnya.

“Jangan bilang kamu takut ngelawan aku,” kataku sambil tersenyum padanya.

Raut mukanya berubah menjadi menghina.

“Siapa bilang? Logika dong. Aku tuh atlet lari di SMA ini. Sedangkan kamu? Benalu di pohon mangga. Aku gak habis pikir. Spesies seperti kamu bisa-bisanya diterima  di sekolah elit ini.” Aku yakin Tia habis makan 1 ton cabai rawit hingga perkataannya sepedas ini.

“Tia, kemampuan itu penting. Tapi yang lebih penting adalah tekad. Aku mau ke kantin dulu.” Aku pun meraih krukku dan berdiri. Tapi setelah aku mengambil langkah pertama, Tia berdiri dan menendang krukku. Otomatis aku terjatuh.

“Jadi anak itu gak usah blagu,” katanya.

Aku mencoba mengambil krukku, namun saat tanganku akan meraihnya, Tia menyeret krukku dengan kakinya.

“Kalau ada orang bicara itu harus diperhatiin.” Nada suara Tia meninggi. Aku pun menatap mata Tia dalam diam. Dalam matanya, aku melihat ada monster yang sedang mengaum memamerkan gigi tarignya. Oh Tuhan.. Bisa-bisanya aku berhadapan dengan orang seperti ini.

Tia berdiri dengan lutunya dan mendekatkan wajahnya pada wajahku. Dia meraih krukku dan memukul mukulnya ke lantai.

“Tia.. udah.. Tia.. udah.. Kamu bahkan gak ngerti kan gimana rasanya hidup dalam keterbatasan sepertiku. Kamu juga bahkan gak ngerti kan arti harapan di mataku. Harapan itu harus diwujudin. Bisa gak, gak jadi orang yang sirik yang mencoba jadi monster yang menghalangi aku meraih harapanku?” Kataku dengan berkobar-kobar.

Tia berhenti memukul-mukul krukku. Dan tepat pada saat itu, setetes air mataku bergulir di pipiku.

“Tia! Ke ruang BP sekarang!”

Aku menoleh ke asal suara itu dan mendapati Bu Ani sedang berdiri di ambang pintu. Dan saat itu pula, aku baru sadar jika teman-teman sekelasku berdiri mematung dengan mata terpaku pada kami.

Tia pun melangkahkan kakinya ke ruang BP dan Bu Ani pun menghampiriku. Beliau tersenyum dan menyerahkan krukku.  Di tanganku, nampak krukku yang babak belur. Aku pun berdiri.

“Ibu ingin bicara denganmu.” Ucap Bu Ani.

Kami pun duduk di tempat dudukku.

“Ibu dengar, kamu ikut lomba lari minggu depan ya?” Entah mengapa, pertanyaan Bu Ani serasa menusuk hatiku. Aku hanya terdiam.

“Ini sepatu roda buat kamu. Semoga ukurannya pas. Ibu yakin kamu anak yang tangguh.” Bu Ani memberikan sebuah kotak padaku dan aku menerimanya. Aku mengerutkan keningku.

“Tapi Bu? Apa dibolehin pakai sepatu roda?”

“Memang di persyaratan lomba disebutin tidak boleh memakai sepatu roda?”
Bu Ani tersenyum. Aku pun ikut tersenyum karena memang tak ada peraturan dilarang memakai sepatu roda. Akhirnya, ubur-ubur pun menemukan sayapnya untuk terbang.

***

Aku tengah bersiap-siap di kelas. Latihan seminggu membuatku yakin aku sudah mampu mengikuti lomba lari ini. Meski hasilnya lecet di sana-sini. Aku tengah memakai sepatu roda di kaki kananku. Baru saja aku hendak memakai sepatu di sebelah kiri, ada tangan yang merampas sepatu sebelah kiriku. Ternyata itu Tia.

“Sampai jumpa di garis finish.” Senyum Tia mengembang dan secepat kilat ia membawa pergi sepatu kiriku.

Aku hanya bisa memandangi punggung Tia yang perlahan menghilang dari pandangan. Aku mencoba berdiri. Namun sulit menjaga keseimbangan dengan satu sepatu roda. Apakah ini pertanda aku harus mengalah sebelum perang?

***

Kalau saja aku mengalah sebelum perang, aku tidak akan berdiri di sini sekarang. Berdiri dengan medali juara I mengalung di leherku. Aku memandang celanaku di bagian lutut yang sobek. Celana yang menjadi saksi bisu saat aku berulang kali terjatuh dan bangkit lagi.  Jatuh dan bangun, itu sepaket bukan? Begitupun halangan dan harapan.

Aku memandang kerumunan siswa yang memenuhi lapangan basket, tempat arena acara lomba lari tingkat sekolah. Bagiku, ini bukanlah kemenangan. Tapi ini pembuktian, bahwa ubur-ubur pun bisa terbang.

Cerpen ini pernah dimuat di http://blokbojonegoro.com/

Tamu Rumah Terakhir


Sedari tadi mata sayu yang dikelilingi oleh keriput itu tak henti memandangi mega merah yang beradu. Bak tumpahan jus jeruk yang menumpahi langit Illahi. Pandangan wanita tua itu terlihat kosong, tak seperti langit yang bercerita lewat awan-awan, pikiran wanita tua itu berkelana, berusaha menghubungkan benang-benang merah yang terputus dalam lingkaran otaknya. 

Ia tak henti memandang langit yang memerah. Meniti matahari yang sebundar tampah menuruni ujung langit. Wanita tua itu pun tak henti menyambung benang merah dalam fikirannya. Menyambung alasan  atas apa yang ia gelisahkan. Wanita tua itu mulai menarik napas panjang. Menghembuskannya kembali dan debu tak kasat mata di depannya pun berputar-putar.

“Duh Gusti.. Hamba merindukan anak hamba. Sudah lama ia tak berkunjung ke rumah hamba. Rumah yang sempit dan pengap ini.” Wanita tua itu merintih di depan rumahnya. Bulir-bulir air mata pun jatuh, membasahi tunas rumput yang ingin menyembulkan dirinya ke atas tanah. Ia rindu pada anak lelaki satu-satunya. Ia ingin berbincang padanya karena memang tak ada seorangpun yang tinggal bersama dengannya.

Pikirannya pun melayang di udara. Seolah berubah menjadi sosok lain dirinya yang berenang-renang di udara. Menceritakan pendapatnya tentang alasan atas apa yang ia gelisahkan.

“Anakmu mungkin sudah melupakanmu. Anakmu lebih memilih menghabiskan waktu dengan wanitanya ketimbang denganmu. Anakmu lebih memilih pergi berkunjung ke kantornya daripada rumah orang yang sudah mempertaruhkan nyawanya demi dia. Tak usah kau menghabiskan air matamu untuk menangisi orang yang belum tentu memikirkanmu. Lebih baik simpan air matamu untuk menangisi dosa-dosamu di masa lalu.” Suara itu membisiki perempuan tua yang kesepian itu.

Tangannya pun menyapu air mata di pipi. Mencoba menampik bisikan dari bayangannya agar terpental jauh dari pikirannya. Ia memijat keningnya yang sedari tadi berdenyut. “Anakku tak mungkin melupakanku” pikirnya.

Ingatannya pun terputar pada masa silam. Saat pertama kali sinar mentari menembus kornea mata anaknya dan anaknya pun menangis karena kaget melihat sinar mentari untuk pertama kalinya. Saat ia menasehati anak tersayangnya dari kesalahan yang ia buat. Saat pertama kali melepas anaknya merantau untuk mencari pekerjaan. Dan saat yang tak pernah ia lupakan, yaitu saat dia menyaksikan anak semata wayangnya mengucapkan ijab qabul untuk menimang wanita pujaannya.

Ia ingat betul wajah istri dari anaknya. Dia wanita yang tak begitu cantik, tapi sedap dipandang mata. Ia sangat menyukai senyum istri anaknya. Senyumnya membuat orang yang melihatnya sejenak menghela nafas dan ikut tersenyum. Wanita itu membersihkan pipinya yang sedari tadi teraliri air matanya. Tidak terasa ia pun juga merindukan menantunya.

Wanita itu berdiri. Sejenak memikirkan rencana yang sudah ada di benaknya yang sudah lama. Bagaimana pun yang terjadi, besok ia akan pergi ke rumah anaknya. Apapun yang terjadi, ia akan meminta anak dan menantunya untuk berkunjung ke rumahnya. Wanita tua itu pun pergi ke dalam rumahnya. Rumah yang sempit dan pengap, bahkan tak seorangpun ingin tinggal di rumahnya itu.

***

Mentari telah terbit sekitar 2 jam yang lalu. Wanita tua itu pun bersiap untuk pergi ke rumah anaknya. Walaupun dengan jarak sekitar 2 km dari rumahnya, wanita tua itu rela menempuh jarak sejauh itu dengan berjalan kaki. Wanita tua itu tak sanggup untuk membayar ongkos kendaraan, karena memang wanita itu tak punya uang sepeserpun.

Dan akhirnya, setelah melewati jarak yang jauh dan dengan keringat yang bercucuran disana-sini, wanita tua itu pun sampai di rumah anaknya. Pintu rumah anaknya terbuka. Wanita tua itu tak lantas masuk ke dalam rumah anaknya. Dengan kesopanan yang masih ia miliki, ia ingat untuk mengucap salam terlebih dulu sebelum menapakan kaki saat bertamu, termasuk rumah anaknya sendiri.

“Assalamualaikum..” Wanita tua itu mengucap salam. Suasana masih hening. Tak ada sahutan dari dalam rumah itu. Hanya ada suara detak jarum jam yang ada di ruang tamu. Wanita tua itu dengan ragu mengucap salam keduanya.

“Assalamualaikum..” Kali ini usaha wanita tua itu tidak nihil. 2 kepala menyembul dari dalam rumah menuju ruang tamu. Ternyata anak yang digadang-gadangnya telah siap untuk berangkat kerja, dengan istrinya di sampingnya.

“Hati-hati ya, Pak.” Menantunya itu pun mencium tangan suaminya.

Lelaki itu langsung pergi melewati wanita tua itu. Wanita tua yang tak lain adalah Ibunya sendiri. Tanpa pandangan sedikitpun apalagi sepatah katapun. Hati wanita tua itu serasa dipukul dengan rotan. Sakit.

Sementara itu menantunya nampak sedetik memandang wajah wanita tua itu. Sedetik saja, kemudian kembali ke dalam rumah. Wanita tua itu memegang dadanya yang sesak. Bulir air mata tak tahan lagi untuk terjatuh. 

Dengan terpaksa ia pun mengabaikan etika bertamu. Dia duduk di kursi ruang tamu sambil mengusap-usap air matanya. Pikirannya melayang di udara. Ingatan wanita tua itu menghantarkannya pada kejadian dulu. Mencoba mencari apa alasan hingga anaknya sendiri tak menganggap kehadirannya, Ibu kandungnya. Apa mungkin karena wanita tua itu terlalu keras mendidik anaknya dulu. Tapi wanita tua itu mendidik dengan keras demi kebaikan anaknya. Dia tak ingin anaknya menjadi pria yang lembek. Ia ingin anaknya menjadi pria yang tangguh. Atau mungkin, begitulah nasib orang tua seperti wanita tua itu. Terlupakan. Bahkan seakan tak pantas diajak bicara oleh anaknya sekalipun. Wanita tua itu menyeka air matanya.

“Duh Gusti. Sadarkan hati anak hamba. Hamba rindu padanya. Hamba ingin sekali dia berkunjung ke rumah hamba. Duh Gusti, ubah sikapnya pada hamba. Jangan biarkan dia berlaku durhaka seperti tadi pada hamba. Hamba tak ingin kelak dia disiksa di dalam api neraka karena sikapnya itu. ” Wanita itu merintih dalam hati pada Sang Pencipta.

Wanita tua itu berdiri. Memegang pinggangnya yang terasa linu saat ia berdiri. Kembali melangkahkan kakinya untuk pulang. Dengan tanpa apa-apa kecuali kekecewaan yang terpaksa ia telan.

***

Wanita tua itu kembali duduk di depan rumahnya. Dengan pandangan kosong, ia menerawang jauh. Melihat kanan kirinya, rumah-rumah tetangganya. Rumah tetangganya yang sama sepinya seperti rumahnya.

Wanita tua itu mendengar sesuatu di belakangnya. Ia pun berbalik badan. Senyum tersungging di bibirnya, melihat anak dan menantunya akhirnya berkunjung ke rumahnya. Anaknya tersenyum, kemudian dengan istrinya merapal doa untuk wanita tua itu. Kemudian mereka pun menyekar rumah wanita tua itu, yang mana mereka dan orang-orang lain sebut sebagai makam.

Wanita tua itu tak henti-hentinya tersenyum. Tamu yang dirindukannya, telah bertamu. Begitulah orang tua. Walau jasadnya telah tiada, beliau ingin selalu dikenang oleh anak-anaknya.

Cerpen ini pernah dimuat di http://blokbojonegoro.com/

Liontin Cinta


Tajam kupandang hamparan danau di depan mataku. Menembus partikel-partikel udara yang tak kutahu tingkat kerapatannya. Pohon-pohon dan burung-burung membisu seakan prihatin atas keadaanku saat ini. Lengkungan cakrawala seakan menggambarkan semangatku yang hampir patah.

Kugenggam erat golden love yang mengalung di leherku. Ya, golden love adalah nama liontin yang diberikan Steve kepadaku. Pandanganku melemas pada hamparan danau yang menjadi latar saat Steve mengalungkan golden love di leherku. Buliran air mata perlahan kurasa menggenang di pelupuk mataku tanda tak kuat menahan siksa kehilangan Steve. Steve telah pergi. Ah bukan pergi, tapi Steve hilang. Hilang diseret kekejaman kecelakaan pesawat. Saat kabar itu kudengar, air mataku meluap begitu dahsyatnya hingga bola mataku serasa mau lepas dari kelopaknya. Jiwaku serasa dicabut dari jasadku dan betapa sakit rasanya hingga kata derita hanya mampu mewakili 1% dari rasa sakitnya.

Tapi setitik semangat mencuat ketika kuingat janji yang terucap dari bibir manis Steve. “ Jangan menangis! Aku pasti aku pulang. Doakan saja aku selamat sampai Lombok dan menang dalam lomba basket di sana.”

Kata-kata itu kuhafal melebihi teks Pancasila dan selalu melayang-layang di benakku. Aku yakin dia akan menepati janjinya mengingat selama lima tahun bersamaku dia tak pernah berkhianat.

Namun keyakinan itu seakan memudar saat kusadar aku sudah setahun menantinya pulang. Kau tak kan mengerti rasa sakit dan gelisah yang kurasa. Saat kau berdiri tanpa alas kaki tepat di atas ribuan jarum neraka dan melihat sekelilingmu berubah menjadi awan hitam pekat dengan ribuan harapanmu gugur di depan matamu, saat itulah kau dapat merasakan penderitaanku.

Aku ingin menghindar dari siksaan ini dengan cara menghapus rasa cintaku untuk Steve. Tapi setiap kali aku mencobanya, di saat itulah siksaanku semakin berat. Ku rasa cintaku sudah menjadi salah satu organ penting dalam tubuhku untuk bertahan hidup. Aku tak tahu lagi bagaimana caranya untuk meluapkan emosiku. Aku hancur. Bahkan lebih hancur dari serpihan kaca yang jatuh dari ketinggian 100 meter.

“Sayang, pulang yuk. Ini dah hampir malem. Ntar dicariin Papa lho.” Kak Grace menghampiriku seraya duduk di sampingku.

Aku masih menatap hamparan danau di depan mataku. Aku tak peduli suara Kak Grace yang menabuh gendang telingaku.

“Kau menangis.” Tangannya menyapu air mataku yang sukses membuat mataku bengkak.

“Sayang, sesuatu yang pergi itu tak boleh ditangisi. Jika sesuatu itu benar-benar milikmu, sesuatu itu akan kembali lagi padamu. Tuhan akan memberikan jalan yang tidak terduga dalam setiap kejutannya. Sekarang, ayo pulang. Mama di rumah.”

Kalimat terakhir Kak Grace membuatku berpaling menatap mata orientalnya. Dia menuntunku ke mobil. Kupikir Mama sudah tak peduli lagi denganku. Mama pergi saat aku sedang down dan tak berbicara kepada siapapun termasuk wanita yang melahirkanku. Mamaku orangnya tak begitu sabar. Aku sempat berpikir apa dia pantas dipanggil Mama jika saat anaknya terpuruk dia malah mencari kesenangannya sendiri? Mungkin orang yang lebih pantas menjadi Mama adalah Papaku. Papa berkepribadian lembut dan sabar. Terbukti,sampai saat ini Papa masih setia menemani aku yang sudah memalukan lagi jika disebut anak. Dan Kak Grace, dialah malaikat pelindungku. Aku salut padanya karana dia rela melepas studinya di Amrik yang tinggal 1 semester lagi demi aku. Dialah kakakku satu-satunya yang sangat hebat dan patut diberi medali oleh pemerintah.

“Kita sudah sampai di rumah Dek. Sini Kakak bantuin.” Tangan Kak Grace dengan cekatan melepas sabuk pengamanku. Terdengar suara klik yang menjadi bel awal dari kejutan yang akan dibuat Mama.

Dibukalah pintu rumah olek Kak Grace. Oh God, ini bukan kejutan. Ini malapetaka.

“Lihat tuh anakmu jam segini baru pulang.” Nada emosi yang kurasa sudah mendarah daging di setiap ucapan Mama untukku itupun terdengar. Kurasa aku sudah tak dianggap anak lagi.

“Ma, Jane itu masih anak kita, bukan anak Papa saja.” Pandangan Papa berkobar-kobar saat menatap Mama.

“Aku nggak pernah sudi punya anak stres kayak dia. Percuma ngerawat dia sampek gede toh dianya jadi gak waras. “Kata-kata Mama menjelma menjadi busur api berkecepatan meteor dan menembus tepat di jantungku. Sakit bukan main hingga air mataku dengan luwesnya menari kesakitan di pipiku.

“Mama, Jane bukan nggak waras. Dia cuma depresi. Bentar lagi dia pasti sembuh.” Bentak Kak Grace kepada Mama.

“Aaah, mustahil. Udah setahun dia kayak gini. Gak bakal dia sembuh. Dia akan selamanya jadi benalu di keluarga ini.” Aku tak percaya kata-kata seperih ini terlontar dari wanita yang melahirkanku. Tak kuasa ku membela diri dengan kata-kataku. Hanya air mata yang deras mengalir yang mampu menyiratkan betapa sakit kata-kata Mama.

Tangan Kak Grace menggenggam erat tanganku. Pandangan lembutnya memenuhi kornea mataku.

“Semua yang dikatakan Mama tidak benar. Kau gadis kebanggaan keluarga ini.” Senyum menyungging di bibir Kak Grace.

“Dona! Di mana letak naluri keibuanmu? Setan apa yang meracuni pikiranmu? Apa kau lupa dulu kau sangat membanggakan anak bungsumu ini?” Papa menambah intensitas kekerasan suaranya dari semula.

“Kau tak tahu betapa malunya diriku selama setahun menanggung anak seperti dia. Aku bukan malaikat yang tak punya batas kesabaran. Aku udah muak. Aku minta cerai.” Dunia serasa runtuh. Mama minta cerai? Tak bisa kubayangkan jika Papa mengabulkan permintaan Mama.

“Kau minta cerai? Ok.” Sempurna. Bahkan lebih dari sempurna penderitaan yang menghujani diriku. Terasa seperti ada rongga besar yang menganga di hatiku. Begitu perihnya hingga kuyakin manusia terkuatpun tak bisa menahan perihnya.

Aku berlari menuju kamar. Jujur. Aku tak kuat menahan terpaan ini. Diriku bagai dandelion-dandelion yang tak berdaya terombang ambing ditiup angin.

Kututup pintu kamarku keras-keras. Aku menghambur ke ranjang dengan linangan air mata yang membanjiri pipiku. Perceraian orang tuaku, dan kehilangan Steve, cukup mampu membuat kelenjar air mataku kehabisan bahan untuk memproduksi air mata lagi.

Aku beranjak dari ranjangku. Kukangkahkan kakiku dan kujamah kardus berbalut kertas asro warna biru. Tulisan “Steve dan Jane Forever” tersenyum manis dan melekat kuat di permukaan kertas pembalut kardus itu. Tak kubiarkan setitik debu pun benda-benda keramatku ini. Kuambil 1 ikat surat-surat dari Steve. Kulepas simpul pita yang mengikat lembaran-lembaran surat dari Steve. Kuambil amplop merah jambu yang menjadi tempat naungan surat pertama Steve.
   
Dear Jane
Ijinkan hatiku ini bicara padamu. Bukan dari mulut yang bisa berdusta, melainkan dari kesucian hatiku ini akan ku ungkap semua rasaku padamu.

Sinar matamu hangatkan hariku saat mentari masih malu untuk menampakkan dirinya. Saat senyum manismu itu menyungging untukku, beban hatiku serasa terkikis habis oleh senyummu. Saat kau menyapa diriku, semua saraf tubuhku serasa di-refresh dan kembali me-connect dengan amat baik. Saat kau bicara padaku, serasa simponi indah dengan ritme teratur membelai lembut gendang telingaku. Dan saat aku di ujung jembatan mimpi, aku sadar kaulah keindahan dunia.
   
Sejenak ku penggal membaca surat dari Steve. Kutatap lembut jendela kamarku. Dua alenia surat dari Steve mengusap lembut air mata hatiku dan menarik lembut kedua sudut bibirku. Aku tersenyum.
   
            ***

Matahari telah menggeliat di ufuk timur. Aku masih tak bisa memejamkan mataku sedari tadi malam. Aku takut di alam mimpiku aka nada siksaan yang dipersiapkan untuk menjamuku. Orang tuaku resmi bercerai lima hari yang lalu. Dan saat orang tuaku bercerai, aku nekat melakukan aksi yang hampir membuat nyawaku benar-benar melayang. Aku mengiris tanganku sendiri dengan pisau dan berharap aku akan melihat gerbang dunia lain. Tapi Kak Grace datang menyelamatkanku saat aku sekarat di kamar. Percayalah, saat itu aku ingin benar-benar mati.

Hari ini tepat lima hari aku di rumah sakit. Hari-hariku di rumah sakit sangat suram. Semua hambar seperti makanan yang disediakan di sini. Gairah hidup tak kupunya lagi. Untuk apa aku hidup lagi jika sumber kebahagiaan saja sudah mampet untukku?

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ranjang rumah sakit yang kutempati. Tampak di meja tersedia makanan lengkap dengan air putihnya menunggu untuk disantap dan akan kecewa karena tak akan ku santap. Ada vas bunga, sofa, infus, peralatan medis yang wajar, dan tak ada seorangpun di sini. Sepi menenggelamkan jiwaku. Kak Grace pulang untuk mengurusi rumah, Papa masih kerja di kantor, dan angin tak kunjung membawa pulang Steve.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Betapa kaget diriku melihat pujangga yang membuka pintu itu. Aku seperti dekat sekali dengannya. Tak tahu apa yang merasuki diriku, aku senang memandangnya, hatiku damai dan aku tak mau dia pergi dari kamarku. Aku ingin dia menemaniku di hari-hariku selanjutnya.

Dia melangkah mendekatiku. Betapa wangi aroma kesejukan angin yang menerpa tubuhnya dan membelai hidungku. Dia memandangi wajahku dengan raut muka seperti anak TK yang baru belajar membaca. Ekspresi polosnya membuat hatiku damai. Aku ingin dia terus berada di sisiku.

“Maaf, salah orang.” Katanya seraya berbalik badan dan melangkah perlahan menjauhiku. Berpikir cepat Jane, tahan dia apapun caranya. Aku membuka mulutku secepatnya dengan susah payah.

“Hei!” Suaraku begitu lemah dan ajaibnya dia menengok dan mendekat padaku lagi. Thank’s God.

“Ada apa?” Suaranya membelai lembut gendang telingaku dan membuatku melayang.

Terlintas di kepalaku tentang makanan. Aku pun memintanya untuk menyuapiku. Aku yakin dia pasti mau. Setidaknya didasari rasa kasihan pada orang sakit sepertiku.

“Tolong… makan..” Aku melirik ke meja tempat makananku bernaung. Suaraku sangat amat melas sekali tanpa ku buat-buat.

“Kamu mau makan? Ya udah aku suapin ya.” Aku mengangguk. Diapun mengambil makanan di mejaku dan menyuapiku.

Aku ga tau apa sebenarnya hubunganku dengan dia. Kami baru pertama kali bertemu dan tak mengenal satu sama lain, tetapi dia begitu baik kepadaku dan aku begitu nyaman berada di dekatnya. Senyumnya menambah manis paras wajahnya dan akupun tersadar kalau wajahku tak seindah saat aku sedang sehat. Entah kenapa aku merasa panik mengingat hal itu. Aku ingin terlihat cantik di depan dia. Di tengah-tengah suapannya tiba-tiba semangat untuk kembali sembuh menghampiriku.

Tiba-tiba Kak Grace datang.

“Kamu siapa? Kok nyuapin Jane?” Tentu saja Kak Grace kaget mengingat aku tak punya teman laki-laki saat ini.

“Maaf, aku Robbi. Tadi aku salah kamar dan gak sengaja masuk ke kamar perempuan ini. Tapi tiba-tiba dia mintaa disuapin, ya udah aku suapin aja. Ngomong-ngomong, kamu siapanya dia?” Waw! Suaranya..

“Tumben banget Jane mau makan, biasanya gak mau sama sekali. Apalagi minta nyuapin orang yang baru dikenal. Aku Grace, dia Jane, adekku. By the way, makasih ya dah mau nyuapin adekku.” Kak Grace memerkenalkanku di depan Robbi dan aku berharap Robbi mengingtnya setiap hari sama seperti yang akan ku lakukan, mengingat namanya setiap hari.

“Iya, sama-sama. Tapi aku buru-buru nih, mau nyari temenku yang juga dirawat di sini. Maaf ya aku harus pergi.” Dia meletakkan piring berisi makananku ke tempat semula. Sangat menyedihkan bagiku. Dia bakal pergi.

“Rob!” Suaraku lemah dan sangat pelan namun ajaibnya dia mendengarku dan menoleh ke arahku. Benar-benar telinga gajah.

“Iya, Jane?”

“Besok, datang lagi ya.” Suaraku sangat lemah.

“Pasti.” Dia tersenyum tulus dan melangkah meninggalkan kebahagiaan tersendiri untukku.
   
            ***


Sinar lembut Sang Mentari membelaiku dan membangunkanku dari tidur lelapku tadi malam. Aku bisa tidur. Mungkin karena aku ingin tampil segar di depan mata Robbi. Walau baru pertama kali bertemu dan belum saling akrab, dia bagaikan candu bagiku yang ku inginkan setiap hari.

Semalam aku menjadi monster makanan yang sangat rakus. Tak khayal jika Kak Grace menjadi heran dan ku yakin dia juga senang melihat adik satu-satunya mau menyantap makanan. Semangat untuk segera sembuh sangat deras mengalir dalam jiwaku. Harapanku saat aku sembuh nanti aku bisa dekat dengan Robbi setiap saat. Aku begitu semangat pagi ini menunggunya datang menjengukku. Aku belum pernah merasakan sesemangat ini sebelumnya. Jujur, Robbi membuatku merasa kembali hidup. Mungkin dialah malaikat pembawa nyawa bagiku yang diutus Tuhan untuk memberi nyawa kedua untukku.

Robbi datang membawa nampan berisi makanan dengan senyum yang mampu melunglaikan seisi makhluk bumi. Dia benar-benar menawan.

“Sarapan siap… Makan ya Putri Jane, biar cepat sembuh.” Semangatnya begitu jelas tergambar dari senyumnya yang menggelora.

“Siap Pangeran Robb.” Aku tersenyum dan mengatakannya dengan nada semangat sebisaku.

Aku pun menikmati sarapan bersamanya dan bercanda ria sesukaku. Tiap detiknya bagaikan berada di tempat yang lebih indah daripada surga. Aku bahagia bersamanya meski tak ku ucap. Aku nyaman bersamanya meski kau tak ku sentuh. Dan aku ingin dia mengerti bahwa aku tak ingin dia pergi.   

            ***

Tak terasa sebulan sudah Robbi menemani hari-hariku di Rumah Sakit. Entah kekuatan apa yang mendorongnya untuk berbelas kasih merawat orang yang baru dia kenal dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Kali ini aku mengajaknya ke danau tempat pertemuan terakhirku dan Steve. Tapi ada yang berbeda dengan raut muka Robbi. Entah benar atau salah, dia lebih terlihat seperti orang linglung.

“Kamu kenapa Robb? Kamu gak nyaman dengan tempat ini? Atau ada yang salah dengan tempat ini?” 3 pertanyaan itulah yang mampu kusampaikan dari ribuan pertanyaan yang merayapi otakku saat ini.

“Aku gak apa-apa Jane. Tapi kayaknya aku dulu kenal tempat ini. Tapi aku gak yakin sih. Aah, lupakan saja. By the way, kenapa kamu ngajak aku ke tempat ini?” Wajah polos Robbi memenuhi kornea mataku dan aku menyukainya.

“Oooh, ini tempat terspesial dalam hidupku. Soalnya di sini Steve ngasih Golden Love padaku. ” Aku bercerita sekaligus curhat sedikit tentang tempat ini.

“Steve itu siapa Jane?” Lagi-lagi Robbi memukauku dengan muka polosnya.

“Dia mantan pacarku Robb.” Entah mengapa aku membubuhkan kata ‘mantan’. Padahal selama ini aku masih menganggap kalau Steve itu masih jadi pacarku.

“Oooh.” Dia tertunduk dan diam sejenak. “Lalu, Golden Love itu apa?” Tanyanya seolah dia mengintimidasiku.

Aku merogoh Golden Love yang bersarang di dalam tasku. “Ini Robb, Golden Love.”Aku memerlihatkan Golden Love yang ada dalam genggamanku.

Tiba-tiba mata Robbi menyipit. Raut mukanya berubah. Tiba-tiba dia memegang kepalanya dan meremas-remas dengan kuatnya dan meronta menjerit kesakitan.
Jeritannya menyiksaku. Aku tak kuasa melihat Robbi meronta menahan sakit. Kudekati Robbi dan kucoba tenangkan dia sebisaku.

Dan akhirnya, Robbi terjatuh pingsan. Aku menangis sambil mengusap-usap kepalanya. Mulutku seakan membisu karena sesaknya tangisku. Selang 10 menit, aku bisa berbicara karena sesak tangisku berkurang.

“Tollloonnnggg!” Aku menjerit tapi tak ada satupun orang di sekelilingku. Sadar itu hanya perbuatan yang sia-sia. Tapi tiba-tiba Robbi terbangun. Sungguh lega perasaanku.

Dia tiba-tiba memelukku dengan eratnya hingga aku sulit untuk bernafas. Aku menjadi bingung ada apa sebenarnya yang terjadi.

“Jane, aku kangen banget sama kamu.” Aku semakin bingung dengan perkataan yang terlontar dari mulut Robbi. Kenapa dia berkata seolah dia sudah mengenalku bertahun-tahun?

“Robbi! Apa maksudmu?” Aku bertanya dengan nada agak membentak.

“Robbi? Siapa itu Robbi? Aku Steve, Jane, pacar kamu? Masa kamu lupa?” Apa? Jadi selama ini Robbi itu Steve? Bagaimana bisa?

“Tapi kamu kan..” Perkataanku terpotong karena Robbi kembali memegang kepalanya dan menjerit kesakitan

“Aaaaa.. Pesawat,, jatuh,,, Papa.” Haa? Pesawat jatuh? Aku mengerti. Pasti Steve selamat dari kecelakaan itu dan akibat kecelakaan itu dia menjadi gegar otak. Jadi, Steve-ku telah kembali. Betapa bahagia diriku dan ku bisa menjalani hidupku kembali dengan tenang karena Tuhan telah mengembalikan pangeranku kepadaku.

Steve berhenti menjerit. Itu tandanya sakitnya sudah berhenti.

Cerpen ini pernah dimuat di http://blokbojonegoro.com/