Aku masih
tertunduk di apartemenku. Menyekat sekat-sekat waktu di depan mataku. Teringat
pada artikel yang baru tadi pagi ku baca. Tentang remaja Indonesia yang mulai
luntur kecintaannya pada budaya sendiri, dan memilih untuk lebih mencintai
budaya asing. Terlebih budaya negara yang saat ini aku tinggali. Korea.
Aku mahasiswi
asal Indonesia yang menimba ilmu di tempat kelahiran gangnam style. Aku tinggal
di Ibukota Korea. Ya, Seoul. Aku berusia 20 tahun dan mendapat beasiswa kuliah
di Korea. Aku sangat bahagia karena mendapat kesempatan yang langka untuk
menimba ilmu di kiblat fashion remaja Asia saat ini. Namun di sisi lain, hatiku
turut sedih karena mengapa tidak Indonesia saja yang menjadi kiblat Fashion
remaja Asia? Padahal Indonesia punya batik yang sangat disanjung. Aahh,
sudahlah.
Aku meraih buku
catatan harianku. Tepatnya buku targetku. Aku sering menulis targetku dalam
buku harianku. Kebiasaan ini mulai ku lakukan sejak kelas X SMA. Guru Bahasa
Inggrisku kala itu berkata “Jika kalian ingin jadi orang sukses, tulislah
target kalian dalam buku khusus, baik itu target harian, mingguan, bulanan,
bahkan beberapa tahun yang akan datang.”
Aku
membolak-balik setiap halamannya. Halaman yang kusut nan warna yang memudar
dengan beberapa coretan. Syukur sekali karena sudah banyak targetku yang
tercapai. Namun ada satu kalimat yang menyeret pandanganku. Mataku berakomodasi
membacanya.
‘Target 2013
Menjadikan batik
trendsetter di Korea’
Aku menghela
nafas. Targetku yang satu ini sama sekali belum mendapat pencerahan. Aku memang
belum bergerak untuk merealisasikannya. Bahkan rencanaku yang satu ini belum
diketahui sama sekali oleh orang lain, termasuk sahabatku. Namun aku bertekad
secepatnya aku akan melangkah merealisasikan target besarku ini. Harus.
***
“Udah bangun
Din?” Aku mendengar suara Nia sebelum mataku benar-benar melek . Masih ku
rasakan kotoran-kotoran kecil mengerubungi daerah sekitar mataku.
“Eh, Nia.” Aku
mengucek-ngucek mataku, mengumpulkan kemampuan mataku untuk memandang dengan
jernih.
“Tadi malam
capek banget ya? Sampai ketiduran sambil duduk.” Pertanyaan Nia menyadarkanku
kalau semalam aku memang ketiduran saking letihnya.
“Iya nih Ni.
Kemarin ada praktikum yang bikin capek banget. ”
“Oh, tapi
seharusnya kamu bilang makasih dong ke aku, karena aku udah ngebenerin posisi
tidurmu, hehe.” Nia nyengir.
“Iya deh Ni, aku
kan temen yang tahu terimakasih, jadi, makasih ya Ni.”
“Oh iya, Din.
Pas kamu tidur, aku nemuin ini di tanganmu. Terus aku nggak sengaja baca pas
halaman ini.” Nia menyodorkan buku targetku. Aku pun menekuni tiap inci
tulisanku. Aah, ternyata harapan tentang batik. Dari ujung mataku, dapat ku
lihat Nia sedang menahan tawa sambil sesekali menutupi mulutnya.
Aku pun
memandang Nia sepenuhnya.
“Hahahaha... “ Nia
melepaskan tawanya yang sedari tadi ia kurung rapat-rapat.
“Gila. Target
kamu yang itu konyol banget. Kocak banget Din.” Aku terdiam mendengar kritikan
yang lebih tepatnya ejekan dari teman sekamarku yang sekaligus menjadi
sahabatku tentang targetku. Rasanya hati kecut,
muak, emosi, terasa teraduk-aduk.
“Nia! Targetku
yang satu ini bukan untuk diketawain. Tapi untuk diwujudin. Apa salah aku bikin
target kayak gini? Mungkin kamu pikir target ini konyol, tapi tidak bagiku. Ini
targetku yang paling besar untuk memajukan budaya Indonesia. Aku nggak mau
selamanya Indonesia jadi ekor. Aku ingin Indonesia jadi pemimpin. Sudah saatnya
Indonesia bangun dari tidur panjangnya. Sebagai anak bangsa, aku bermimpi
tentang Indonesiaku untuk menjadi yang lebih baik, Ni. Hanya itu.” Aku
melontarkan batu yang sedari tadi bersarang di tenggorokanku. Batu yang berisi
emosiku yang menggumpal akibat omongan Nia tadi.
Aku langsung
bangkit meninggalkan Nia sendiri dan bergegas mandi. Nia terdiam cukup lama
karena tamparan kalimatku tadi. Biarkan saja dia merasakan sakitnya hatiku atas
omongannya tentang targetku yang satu itu.
Sampai di kamar
mandi, aku terus menyortir satu persatu perasaan yang berkecamuk dalam benakku.
Aku bingung pada Nia. Bisa-bisanya dia menertawakanku atas targetku yang satu
itu. Bukankah dia seharusnya senang aku memiliki target untuk membuat Indonesia
lebih diakui di kancah Internasional? Ataukah jangan-jangan dia tak punya
gairah untuk mengangkat nama Indonesia? Apa dia ingin selamanya menjadi
pengikut arus Trend dan Fashion dan tak punya gerget sedikitpun
untuk menjadi pemimpin dari itu semua? Apakah dia tak juga sedetikpun
memikirkan apa yang terjadi pada Indonesia 10 tahun lagi kalau sekarang saja
sudah begini? Dan pertanyaan yang paling menggerogoti batinku adalah, mengapa
dia menertawai targetku, apa dia juga tak ingin membantu dan menyuport-ku untuk
mewujudkan targetku tentang batik?
Baiklah, jika
dia sudah tahu targetku dan tak ingin membantu mewujudkannya, aku akan berjuang
sendiri. Akan ku cegoki Nia dengan 1.000 tawa yang paling keras dariku atas apa
yang ia tertawakan di awal. Lihat Nia. Akan ku buktikan padamu bahwa aku bisa
mewujudkan target besarku itu.
Gemericik air
berhenti mengalir. Aku sudah selesai mandi, dan segera bersiap-siap pergi
kuliah. Kulihat Nia masih di kamar apartemen sedang bersiap-siap untuk mandi.
Aku membuang muka saat berada di dekatnya. Muak aku melihat muka kecutnya.
***
Pensilku beradu
dengan kertas hvs-ku. Menggoreskan tiap inci dari apa yang ku pikirkan.
Menampakkan tiap piranti yang saling terhubung menjadi satu desain. Aahh
memuakkan.
Ku remas kertas
yang sedari tadi ku tekuni. Sudah entah berapa lembar kertas yang ku
remas-remas. Desainku terlalu jelek. Kuno. Terkadang terlalu berlebihan. Aah.
Aku ingin berteriak sekencang mungkin. Tapi aku ingat aku masih ada di dalam
perpustakaan kampus. Mengingat satu frekuensi berlebih suara akan mendapat semburan,
aku pun mengendapkan keinginanku. Hatiku meradang menahan berjuta kekesalan
karena tak ku jumpai satu titik temu dari apa yang ada dalam pikiranku.
Aku mengambil
nafas dalam-dalam. Mencoba menenangkan pikiranku. Sejenak meninggalkan desain
busana batik yang cocok untuk remaja di Korea. Aku memijat-mijat kepalaku yang
terasa sangat pening. Inikah ujungnya? Tumpul tak bertitik. Bukan. Ini bukan
ujung. Tapi ini tengah. Ini proses dalam pencapaian targetku. Hal sekecil ini
tak mungkin bisa menghalangiku untuk mencapai target besarku. Tak mungkin
memupuskan bunga asaku yang belum mekar. Ini bumbu. Ya. Ini bumbu keberhasilan untuk
mencapai targetku. Bukankah sebelum manis ada pahit dulu? Ok! Fighting
Dina! Nothing can stop your step!1
Aku mengumpulkan
beberapa desain busanaku yang amburadul. Ku buang di tempat sampah yang ada di
dalam perpustakaan. Sampah sedikit yang bercecer, bisa mencekik pemiliknya
disini. Aku memberesi barang-barangku dan bersiap kembali ke apartemen.
***
Jam
1 malam. Tak terasa sudah sangat lama aku bergulat dengan berlembar-lembar
kertas untuk menciptakan beberapa desain busana batik. Aku membuat beberapa pakaian
yang cocok dikenakan sehari-hari, tak hanya pakaian eksklusif untuk pergi ke
pesta.
Ku rasakan
geliatan dalam hatiku. Rasa senang yang menjalari hatiku. Rasa kemenangan yang
begitu manis. Bukan kemenangan yang disimbolkan dengan medali atau piagam.
Namun yang disimbolkan dengan setiap desain yang berhasil ku buat. Aku tak
pernah merasa sesemangat ini sebelumnya. Entah mau jadi apa nanti desain ini, entah
diterima oleh remaja Korea atau tidak, yang penting aku sudah mencoba
membuatnya. Karena aku yakin setiap sesuatu yang kita buat dengan ketulusan
hati, akan mendatangkan manfaat yang besar yang tidak pernah kita duga
sebelumnya.
“Din..”
Aku berbalik menghadap asal suara itu. Dan secepat mungkin aku kembali berbalik
menatap kertasku. Aku menyesal telah menatapnya tadi. Ternyata Nia memanggilku.
“Ini
punyamu. Maaf sebelumnya, aku coret-coret sedikit.” Nia menaruh beberapa lembar
kertas tepat di atas kertas desain bajuku. Seketika itu aku langsung terpaku
menatap kertas-kertas tadi. Kertas kucel. Terlihat tekstur yang penuh lipatan
dan dipaksakan agar terbuka. Gambar itu. Ya. Gambar itu. Gambar desain yang
tadi ku buang di tong sampah perpustakaan. Bukan main. Coretan sedikit dari
tangan Nia membuat gambar di sketsaku menjadi lebih fresh dan trendy.
Tiba-tiba
ku rasakan kedua bahuku sudah terkunci oleh pelukan Nia.
“Din,
maafin aku ya. Nggak seharusnya aku ngetawain target kamu. Justru aku
seharusnya ngebantu kamu buat ngewujudin target kamu itu.” Tersirat ketulusan
dalam nada suara Nia.
Sejenak
ku terdiam. Memikirkan ini itu tentang perlakuannya dia tadi pagi. Mungkin aku
yang terlalu kekanak-kanakan menanggapi respons Nia. Bukankah aku dan Nia sudah
bersahabat lama? Baiklah, aku sadar kalau aku memang bersikap kekanak-kanakan
tadi pagi.
“Iya
Nia. Aku maafin. Lagian tadi aku yang kekanak-kanakan. Ngomong-ngomong, desain
kamu bagus deh.” Nia melepaskan pelukannya.
“Iya
dong Din, aku kan ngambil jurusan desain di sini.” Lantas Nia duduk di sampingku dan menyambar
selembar hvs putih untuk kemudian mendesain baju yang ada di otaknya.
Hatiku
serasa senang karena ada satu orang yang mendukungku untuk mewujudkan targetku.
Bukannya satu target jika dilakukan bersama-sama akan cepat tercapai? Dan
sekarang, 2 gadis Indonesia siap memperjuangkan batik di negeri gingseng.
***
Setengah
mati ku menahan untuk tetap memejamkan mataku. Ku rasakan sengatan-sengatan
kecil hantaman partikel dingin yang mengenai kulit wajahku. Ayolah.. aku baru
tidur jam 2 pagi, aku masih ingin merajut mimpi di dunia mimpiku.
“Bangun
Dina! Udah pagi. Kita punya misi lagi.” Tubuhku rasanya remuk di goyang-goyang
Nia. Misi apa lagi sih? Entar juga bisa.
“Bangun
bangun bangun!” kali ini suara Nia makin menggelegar dan cipratan-cipratan air
pun makin banyak menghantam kulit wajahku.
“Oke
oke! Aku bangun.” Setengah mati aku mencoba mengangkat badanku. Mataku masih
terpejam namun tak sedamai 1 jam yang lalu.
“Kita
harus, kudu, musti bin wajib buat nyetorin desain kita ke butik-butik remaja di
sini Din. Kan kalo keterima dan dijadiin baju target kamu kan udah mulai
tercapai.” Nia sangat bersemangat hingga gendang telingaku bergetar 2 kali
lebih keras dari semula.
“Oke,
aku tahu. Tapi tak sepagi ini kali Ni.” Mataku sayup-sayup masih terpejam.
“What? Pagi? Dina, ini udah jam 10 Din.”
Sontak
aku membuka mataku, tanpa ba-bi-bu lagi aku langsung ke kamar mandi dan
mengguyur tubuhku. Ya Tuhan, sudah pukul 10? Untung hari ini kuliah-ku free. Jadi aku bisa ngeluangin semua waktuku
buat promosi desain busanaku dan Nia. Semoga saja diterima.
***
Aku
memandangi wajah pemilik butik ini. Butik kelima yang sudah ku datangi.
Setengah mati aku mencoba menafsirkan air muka ibu itu. Mataku masih mencari
titik temu atas apa yang ku tanyakan dalam hatiku? Apa diterima? Atau ditolak?
Mata
ibu itu masih menekuri tiap inci desain busanaku dan Nia. Terdengar helaan
nafas panjang seolah ibu itu akan memulai kutukannya, atau mungkin mantra
kebahagiaan? Entahlah.
“Maaf,
saya tidak bisa menerima desain baju ini.” Ibu itu dengan tegas berkata
demikian dengan bahasa Korea. Ya sudah, mau apa lagi. Tanpa pikir panjang, aku
langsung meninggalkan butik itu tanpa memberi ucapan salam, berbeda dengan Nia.
Kecewa.
Aku
menekuri tiap salju di jalanan kota Seoul ini. Menghubungkan huruf A dan Z
seperti menghubungkan batik dengan Kota ini? Entahlah. Mungkin saja batik tidak
cocok dengan kota ini. Terbukti. Sudah 5 butik yang kami datangi menolak desain
busanaku dan Nia. Desain yang kami tekuni sehari semalam tanpa memikirkan
matahari mulai bergeser kemana.
Mungkin,
inilah akhirnya. Perjuangan yang sia-sia.
Bruak..
tiba-tiba aku menabrak seseorang. Alhasil desain baju di tanganku pun
berhamburan.
“Mianhae2” ucapku pada orang
yang kutabrak.
Orang
itu pun terdiam sambil memegang salah satu desain baju batik yang luput dari
tanganku. Senyum mengembang di bibirnya.
***
Siapa
sangka orang yang kutabrak 2 pekan lalu adalah desainer ternama di Korea? Siapa
sangka desainku dan Nia sudah menjadi busana yang seutuhnya dan dipamerkan
seantero Korea? Siapa sangka sekarang desain kami sudah menjamur dan dipakai
hampir semua remaja Korea dalam keseharian mereka? Siapa sangka batik sudah
menjadi trendsetter di Korea? Siapa
sangka aku dan Nia direkrut sebagai desainer busana batik di Korea?
Mungkin
dua pekan yang lalu adalah akhir dari targetku. Tapi aku sadar, masih ada yang
paling akhir dari akhir. Dan yang paling akhir, targetku tercapai. Aku berhasil
menjadikan batik sebagai trendsetter
di Korea. Tak hanya itu, aku pun mendapat bonus menjadi desainer di negeri
gingseng ini. Aku percaya, Kerja keras akan ada balasannya. Dan batik adalah
harta karun Indonesia yang harus dilestarikan dan dipromosikan.
TAMAT.