Linangan
air mata meledak saat ingatanku menerawang jauh ke masa lalu. Tepat saat Bulan
Ramadhan 2010, terjadi peristiwa yang mampu mengacaukan separuh hidupku. Saat
itu matahari tampak malu-malu bersembunyi di kubu sang awan.
“Hayo.. ngelamun mulu entar kesambet
lho.” Kak Reny mengagetkanku dengan kata-katanya.
“Aaah, Kak Reny ngagetin aja. Gini
lo Kak, di surau tempat aku ngaji, ada lomba baca Al- Qur’an tingkat kecamatan.
Setiap anak boleh ikut, dengan syarat mempunyai Al- Qur’an. Aku kepingin ikut
Kak, tapi kita kan gak punya Al-Qur’an.” Curhatku.
Kak Reny terbungkam sejenak.
Kerudung biru yang dikenakannya nampak indah bergoyang-goyang ditiup angin. Aku
yakin Kak Reny sedang memutar otaknya untuk membeli Al-Qur’an. Bukan perkara
mudah bagi kami yang berpenghuni di gubuk reot dan mencari makan dengan
mengaisi sampah membeli Al-Qur’an yang harganya sekitar Rp 25.000.
Kak Reny menatapku dan mulai
berbicara.
“Lombamu berapa hari lagi?” Tanya
Kak Reny pada adiknya yang berumur 12 tahun ini.
“ Sekitar seminggu lagi Kak.” Waktu yang singkat untuk
memenuhi tabungan membeli Al-Qur’an.