Jumat, 10 Mei 2013

Saat Batik Menyentuh Korea


Aku masih tertunduk di apartemenku. Menyekat sekat-sekat waktu di depan mataku. Teringat pada artikel yang baru tadi pagi ku baca. Tentang remaja Indonesia yang mulai luntur kecintaannya pada budaya sendiri, dan memilih untuk lebih mencintai budaya asing. Terlebih budaya negara yang saat ini aku tinggali. Korea.
Aku mahasiswi asal Indonesia yang menimba ilmu di tempat kelahiran gangnam style. Aku tinggal di Ibukota Korea. Ya, Seoul. Aku berusia 20 tahun dan mendapat beasiswa kuliah di Korea. Aku sangat bahagia karena mendapat kesempatan yang langka untuk menimba ilmu di kiblat fashion remaja Asia saat ini. Namun di sisi lain, hatiku turut sedih karena mengapa tidak Indonesia saja yang menjadi kiblat Fashion remaja Asia? Padahal Indonesia punya batik yang sangat disanjung. Aahh, sudahlah.
Aku meraih buku catatan harianku. Tepatnya buku targetku. Aku sering menulis targetku dalam buku harianku. Kebiasaan ini mulai ku lakukan sejak kelas X SMA. Guru Bahasa Inggrisku kala itu berkata “Jika kalian ingin jadi orang sukses, tulislah target kalian dalam buku khusus, baik itu target harian, mingguan, bulanan, bahkan beberapa tahun yang akan datang.”
Aku membolak-balik setiap halamannya. Halaman yang kusut nan warna yang memudar dengan beberapa coretan. Syukur sekali karena sudah banyak targetku yang tercapai. Namun ada satu kalimat yang menyeret pandanganku. Mataku berakomodasi membacanya.
‘Target 2013
Menjadikan batik trendsetter di Korea’
Aku menghela nafas. Targetku yang satu ini sama sekali belum mendapat pencerahan. Aku memang belum bergerak untuk merealisasikannya. Bahkan rencanaku yang satu ini belum diketahui sama sekali oleh orang lain, termasuk sahabatku. Namun aku bertekad secepatnya aku akan melangkah merealisasikan target besarku ini. Harus.
***
“Udah bangun Din?” Aku mendengar suara Nia sebelum mataku benar-benar melek . Masih ku rasakan kotoran-kotoran kecil mengerubungi daerah sekitar mataku.
“Eh, Nia.” Aku mengucek-ngucek mataku, mengumpulkan kemampuan mataku untuk memandang dengan jernih.
“Tadi malam capek banget ya? Sampai ketiduran sambil duduk.” Pertanyaan Nia menyadarkanku kalau semalam aku memang ketiduran saking letihnya.
“Iya nih Ni. Kemarin ada praktikum yang bikin capek banget. ”
“Oh, tapi seharusnya kamu bilang makasih dong ke aku, karena aku udah ngebenerin posisi tidurmu, hehe.” Nia nyengir.
“Iya deh Ni, aku kan temen yang tahu terimakasih, jadi, makasih ya Ni.”
“Oh iya, Din. Pas kamu tidur, aku nemuin ini di tanganmu. Terus aku nggak sengaja baca pas halaman ini.” Nia menyodorkan buku targetku. Aku pun menekuni tiap inci tulisanku. Aah, ternyata harapan tentang batik. Dari ujung mataku, dapat ku lihat Nia sedang menahan tawa sambil sesekali menutupi mulutnya.
Aku pun memandang Nia sepenuhnya.
“Hahahaha... “ Nia melepaskan tawanya yang sedari tadi ia kurung rapat-rapat.
“Gila. Target kamu yang itu konyol banget. Kocak banget Din.” Aku terdiam mendengar kritikan yang lebih tepatnya ejekan dari teman sekamarku yang sekaligus menjadi sahabatku tentang targetku. Rasanya hati kecut,  muak, emosi, terasa teraduk-aduk.
“Nia! Targetku yang satu ini bukan untuk diketawain. Tapi untuk diwujudin. Apa salah aku bikin target kayak gini? Mungkin kamu pikir target ini konyol, tapi tidak bagiku. Ini targetku yang paling besar untuk memajukan budaya Indonesia. Aku nggak mau selamanya Indonesia jadi ekor. Aku ingin Indonesia jadi pemimpin. Sudah saatnya Indonesia bangun dari tidur panjangnya. Sebagai anak bangsa, aku bermimpi tentang Indonesiaku untuk menjadi yang lebih baik, Ni. Hanya itu.” Aku melontarkan batu yang sedari tadi bersarang di tenggorokanku. Batu yang berisi emosiku yang menggumpal akibat omongan Nia tadi.
Aku langsung bangkit meninggalkan Nia sendiri dan bergegas mandi. Nia terdiam cukup lama karena tamparan kalimatku tadi. Biarkan saja dia merasakan sakitnya hatiku atas omongannya tentang targetku yang satu itu.
Sampai di kamar mandi, aku terus menyortir satu persatu perasaan yang berkecamuk dalam benakku. Aku bingung pada Nia. Bisa-bisanya dia menertawakanku atas targetku yang satu itu. Bukankah dia seharusnya senang aku memiliki target untuk membuat Indonesia lebih diakui di kancah Internasional? Ataukah jangan-jangan dia tak punya gairah untuk mengangkat nama Indonesia? Apa dia ingin selamanya menjadi pengikut arus Trend dan Fashion dan tak punya gerget sedikitpun untuk menjadi pemimpin dari itu semua? Apakah dia tak juga sedetikpun memikirkan apa yang terjadi pada Indonesia 10 tahun lagi kalau sekarang saja sudah begini? Dan pertanyaan yang paling menggerogoti batinku adalah, mengapa dia menertawai targetku, apa dia juga tak ingin membantu dan menyuport-ku untuk mewujudkan targetku tentang batik?
Baiklah, jika dia sudah tahu targetku dan tak ingin membantu mewujudkannya, aku akan berjuang sendiri. Akan ku cegoki Nia dengan 1.000 tawa yang paling keras dariku atas apa yang ia tertawakan di awal. Lihat Nia. Akan ku buktikan padamu bahwa aku bisa mewujudkan target besarku itu.
Gemericik air berhenti mengalir. Aku sudah selesai mandi, dan segera bersiap-siap pergi kuliah. Kulihat Nia masih di kamar apartemen sedang bersiap-siap untuk mandi. Aku membuang muka saat berada di dekatnya. Muak aku melihat muka kecutnya.
***
Pensilku beradu dengan kertas hvs-ku. Menggoreskan tiap inci dari apa yang ku pikirkan. Menampakkan tiap piranti yang saling terhubung menjadi satu desain. Aahh memuakkan.
Ku remas kertas yang sedari tadi ku tekuni. Sudah entah berapa lembar kertas yang ku remas-remas. Desainku terlalu jelek. Kuno. Terkadang terlalu berlebihan. Aah. Aku ingin berteriak sekencang mungkin. Tapi aku ingat aku masih ada di dalam perpustakaan kampus. Mengingat satu frekuensi berlebih suara akan mendapat semburan, aku pun mengendapkan keinginanku. Hatiku meradang menahan berjuta kekesalan karena tak ku jumpai satu titik temu dari apa yang ada dalam pikiranku.
Aku mengambil nafas dalam-dalam. Mencoba menenangkan pikiranku. Sejenak meninggalkan desain busana batik yang cocok untuk remaja di Korea. Aku memijat-mijat kepalaku yang terasa sangat pening. Inikah ujungnya? Tumpul tak bertitik. Bukan. Ini bukan ujung. Tapi ini tengah. Ini proses dalam pencapaian targetku. Hal sekecil ini tak mungkin bisa menghalangiku untuk mencapai target besarku. Tak mungkin memupuskan bunga asaku yang belum mekar. Ini bumbu. Ya. Ini bumbu keberhasilan untuk mencapai targetku. Bukankah sebelum manis ada pahit dulu?  Ok! Fighting Dina! Nothing can stop your step!1
Aku mengumpulkan beberapa desain busanaku yang amburadul. Ku buang di tempat sampah yang ada di dalam perpustakaan. Sampah sedikit yang bercecer, bisa mencekik pemiliknya disini. Aku memberesi barang-barangku dan bersiap kembali ke apartemen.
***
            Jam 1 malam. Tak terasa sudah sangat lama aku bergulat dengan berlembar-lembar kertas untuk menciptakan beberapa desain busana batik. Aku membuat beberapa pakaian yang cocok dikenakan sehari-hari, tak hanya pakaian eksklusif untuk pergi ke pesta.
Ku rasakan geliatan dalam hatiku. Rasa senang yang menjalari hatiku. Rasa kemenangan yang begitu manis. Bukan kemenangan yang disimbolkan dengan medali atau piagam. Namun yang disimbolkan dengan setiap desain yang berhasil ku buat. Aku tak pernah merasa sesemangat ini sebelumnya. Entah mau jadi apa nanti desain ini, entah diterima oleh remaja Korea atau tidak, yang penting aku sudah mencoba membuatnya. Karena aku yakin setiap sesuatu yang kita buat dengan ketulusan hati, akan mendatangkan manfaat yang besar yang tidak pernah kita duga sebelumnya.
            “Din..” Aku berbalik menghadap asal suara itu. Dan secepat mungkin aku kembali berbalik menatap kertasku. Aku menyesal telah menatapnya tadi. Ternyata Nia memanggilku.
            “Ini punyamu. Maaf sebelumnya, aku coret-coret sedikit.” Nia menaruh beberapa lembar kertas tepat di atas kertas desain bajuku. Seketika itu aku langsung terpaku menatap kertas-kertas tadi. Kertas kucel. Terlihat tekstur yang penuh lipatan dan dipaksakan agar terbuka. Gambar itu. Ya. Gambar itu. Gambar desain yang tadi ku buang di tong sampah perpustakaan. Bukan main. Coretan sedikit dari tangan Nia membuat gambar di sketsaku menjadi lebih fresh dan trendy.
            Tiba-tiba ku rasakan kedua bahuku sudah terkunci oleh pelukan Nia.
            “Din, maafin aku ya. Nggak seharusnya aku ngetawain target kamu. Justru aku seharusnya ngebantu kamu buat ngewujudin target kamu itu.” Tersirat ketulusan dalam nada suara Nia.
            Sejenak ku terdiam. Memikirkan ini itu tentang perlakuannya dia tadi pagi. Mungkin aku yang terlalu kekanak-kanakan menanggapi respons Nia. Bukankah aku dan Nia sudah bersahabat lama? Baiklah, aku sadar kalau aku memang bersikap kekanak-kanakan tadi pagi.
            “Iya Nia. Aku maafin. Lagian tadi aku yang kekanak-kanakan. Ngomong-ngomong, desain kamu bagus deh.” Nia melepaskan pelukannya.
            “Iya dong Din, aku kan ngambil jurusan desain di sini.”  Lantas Nia duduk di sampingku dan menyambar selembar hvs putih untuk kemudian mendesain baju yang ada di otaknya.
            Hatiku serasa senang karena ada satu orang yang mendukungku untuk mewujudkan targetku. Bukannya satu target jika dilakukan bersama-sama akan cepat tercapai? Dan sekarang, 2 gadis Indonesia siap memperjuangkan batik di negeri gingseng.
***
            Setengah mati ku menahan untuk tetap memejamkan mataku. Ku rasakan sengatan-sengatan kecil hantaman partikel dingin yang mengenai kulit wajahku. Ayolah.. aku baru tidur jam 2 pagi, aku masih ingin merajut mimpi di dunia mimpiku.
            “Bangun Dina! Udah pagi. Kita punya misi lagi.” Tubuhku rasanya remuk di goyang-goyang Nia. Misi apa lagi sih? Entar juga bisa.
            “Bangun bangun bangun!” kali ini suara Nia makin menggelegar dan cipratan-cipratan air pun makin banyak menghantam kulit wajahku.
            “Oke oke! Aku bangun.” Setengah mati aku mencoba mengangkat badanku. Mataku masih terpejam namun tak sedamai 1 jam yang lalu.
            “Kita harus, kudu, musti bin wajib buat nyetorin desain kita ke butik-butik remaja di sini Din. Kan kalo keterima dan dijadiin baju target kamu kan udah mulai tercapai.” Nia sangat bersemangat hingga gendang telingaku bergetar 2 kali lebih keras dari semula.
            “Oke, aku tahu. Tapi tak sepagi ini kali Ni.” Mataku sayup-sayup masih terpejam.
            What? Pagi? Dina, ini udah  jam 10 Din.”
            Sontak aku membuka mataku, tanpa ba-bi-bu lagi aku langsung ke kamar mandi dan mengguyur tubuhku. Ya Tuhan, sudah pukul 10? Untung hari ini kuliah-ku free. Jadi aku bisa ngeluangin semua waktuku buat promosi desain busanaku dan Nia. Semoga saja diterima.
***
            Aku memandangi wajah pemilik butik ini. Butik kelima yang sudah ku datangi. Setengah mati aku mencoba menafsirkan air muka ibu itu. Mataku masih mencari titik temu atas apa yang ku tanyakan dalam hatiku? Apa diterima? Atau ditolak?
            Mata ibu itu masih menekuri tiap inci desain busanaku dan Nia. Terdengar helaan nafas panjang seolah ibu itu akan memulai kutukannya, atau mungkin mantra kebahagiaan? Entahlah.
            “Maaf, saya tidak bisa menerima desain baju ini.” Ibu itu dengan tegas berkata demikian dengan bahasa Korea. Ya sudah, mau apa lagi. Tanpa pikir panjang, aku langsung meninggalkan butik itu tanpa memberi ucapan salam, berbeda dengan Nia. Kecewa.
            Aku menekuri tiap salju di jalanan kota Seoul ini. Menghubungkan huruf A dan Z seperti menghubungkan batik dengan Kota ini? Entahlah. Mungkin saja batik tidak cocok dengan kota ini. Terbukti. Sudah 5 butik yang kami datangi menolak desain busanaku dan Nia. Desain yang kami tekuni sehari semalam tanpa memikirkan matahari mulai bergeser kemana.
            Mungkin, inilah akhirnya. Perjuangan yang sia-sia.
            Bruak.. tiba-tiba aku menabrak seseorang. Alhasil desain baju di tanganku pun berhamburan.
            Mianhae2” ucapku pada orang yang kutabrak.
            Orang itu pun terdiam sambil memegang salah satu desain baju batik yang luput dari tanganku.  Senyum mengembang di bibirnya.
***
            Siapa sangka orang yang kutabrak 2 pekan lalu adalah desainer ternama di Korea? Siapa sangka desainku dan Nia sudah menjadi busana yang seutuhnya dan dipamerkan seantero Korea? Siapa sangka sekarang desain kami sudah menjamur dan dipakai hampir semua remaja Korea dalam keseharian mereka? Siapa sangka batik sudah menjadi trendsetter di Korea? Siapa sangka aku dan Nia direkrut sebagai desainer busana batik di Korea?
            Mungkin dua pekan yang lalu adalah akhir dari targetku. Tapi aku sadar, masih ada yang paling akhir dari akhir. Dan yang paling akhir, targetku tercapai. Aku berhasil menjadikan batik sebagai trendsetter di Korea. Tak hanya itu, aku pun mendapat bonus menjadi desainer di negeri gingseng ini. Aku percaya, Kerja keras akan ada balasannya. Dan batik adalah harta karun Indonesia yang harus dilestarikan dan dipromosikan.
TAMAT.

Jumat, 08 Maret 2013

Satu Nafas Terakhir, Part 3

Cerbung
Genre : Sad Romance

             Tiba-tiba ku dengar pintu kamarku terbuka. Sudah bisa dipastikan Bi Surti yang membukanya. Masuk ke kamarku membawa nampan berisi bubur sebagai sarapanku dan obat-obatku yang ku kira jumlahnya ada lah 5 jenis. Huufftt.. Selalu saja pagi hari diawali dengan prosesi seperti ini.
            “Non, sarapannya..” Aku memandang Bi Surti sejenak dan menyunggingkan seulas senyum. Mood-ku di pagi hari selalu baik, tidak seperti siang atau sore hari.
            “Taroh aja Bi.” Aku kembali menatap jendela, menikmati guratan sinar mentari yang lembut. Sesuatu hal yang sangat ku sukai. Kehangatan dari sinar mentari.
            Aku menghampiri nampan yang dibawa Bi Surti tadi. Ku angkat mangkuk yang menjadi tempat bubur ayamku bernaung. Ku garuk dengan sendok bagian puncaknya. Mengunyah dengan perlahan namun pasti. Terkadang, semangatku untuk hidup kembali mencuat, namun disaat tertentu juga, keputusasaan begitu mengurung diriku. Menghimpit dan memecahkan harapanku hingga ku rasa semua yang ku lakukan tidak ada gunanya.
            Aku menyisakan setengah mangkuk bubur sarapanku. Ku comot 5 jenis obat untuk penyakitku yang tak ku tahu persis fungsinya. Ku ambil segelas air putih dan memelannya bersama air. Obat-obatan itu terasa hambar di lidahku karena sudah terbiasa aku mengonsumsinya.
            Ritual selanjutnya adalah menyiram tubuhku dan membersihkannya. Setelah itu, melesat menuju danau dan menikmati kedamaian pagi.
***
            Seseorang telah duduk di tepi danau. Membuatku menyipitkan mataku dan memutar ingatanku ke masa silam. Aku berani bertaruh kalau aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Aku pun menyapanya.
            “Hei, maaf kamu siapa ya?” Sebisa mungkin aku bersikap ramah pada orang ini.
            Dia berbalik menatapku.
            “Ooh, aku Marcel. Kalau kamu?”senyum hangat menyambutku.
            Aku mendekatinya dan duduk di sampingnya. Jarak 1 meter memisahkan kami.
            “Aku Rachel. By the way, kamu kok bisa disini?” Tanpa basa basi lagi aku menanyakan hal yang ingin ku ketahui sedari tadi.
            “Aku hanya mencari ketenangan dan menemukan tempat ini. Kamu juga kok bisa ada di sini.” Hampir saja aku tertawa mendengar pertanyaan itu darinya. Jelas lah aku bisa di sini, ini tempat kan punya Papaku.
            “Ini sudah jadi kebiasaanku. Berkunjung di danau ini. Melepas penat dan mencari kedamaian.” Ku palingkan wajahku saat ku katakan ini padanya.
            Kami pun terdiam lumayan lama. Nampaknya pemuda ini tidak banyak bicara. Namun dari wajahnya, dapat ku lihat jika dia bukan pemuda yang cuek. Dia sosok yang lembut.
            “Tempat ini indah. Baru kali ini aku berkunjung di tempat seindah ini. Apalagi ada ratusan ikan koi di

Senin, 25 Februari 2013

Satu Nafas Terakhir, Part 02

Cerbung
Genre : Sad Romance

Saat aku terkapar, dadaku masih terasa sakit. Aku hanya bisa merintih dan semuanya pun terasa memudar. Hingga akhirnya, aku menutup mataku
***
            Saat pertama kali aku membuka mata, yang ku lihat pertama kali adalah Papa, Pak Bambang, Pak Ali, Bi Surti, dan Dokter Rama. Sudah ku duga. Pasti akan ada yang menemukanku pingsan dan membawaku ke kamarku seperti biasanya.
            “Rachel, kan Papa sudah bilang. Jangan pergi sendirian apalagi ke tempat yang jauh. Kalau sudah gini Papa jadi khawatir. Kamu itu anak satu-satunya Papa Chel. Ingat kondisimu. Penyakit kamu tuh sudah parah, Nak.” Prolog dari Papa sungguh memuakkan bagiku.
            “Ooh, jadi Papa pengen kalo Rachel diem terus di rumah. Nungguin kematian Rachel dengan gak ngapa-ngapain?” Aku berkata dengan ketus.
            “Bukan begitu, Nak. Papa gak ngelarang Rachel buat keluar rumah kok. Hanya saja, kalau Rachel pengen keluar rumah harus ada orang yang nemenin.” Papa menasihatiku dengan kata-kata yang sama dengan kemarin, kemarin, dan kemarinnya lagi. Aku tahu ini baik untukku. Tapi entah kenapa malah aku selalu muak jika Papa menasihatiku seperti ini.
            “Pa, aku gak mau ngerepotin mereka dengan nemenin aku main. Mereka punya banyak pekerjaan yang banyak untuk ngerawat rumah segede ini. Lagian Papa tau sendiri kan, kalo aku tuh sukanya sendirian.” Kali ini suaraku terdengar lebih halus.
            “Kita gak kerepotan kok, Non. Lagian kan ini kewajiwab kita juga, Non.” Pak Ali, tukang kebun menyambar berbicara.
            “Heh.. Gak usah ikut campur omongan gue ama Papa. Diem aja napa? Tugas loe tuh cuma nyukurin serut tuh di taman. Cepet pergi!” Aku mengusir Pak Ali.
            Pak Ali pun pergi dengan muka tertunduk. Merasa bersalah mungkin. Atau mungkin berlaga sopan di depan Papa. Entahlah.
            “Kalian kenapa gak nyusul Si Ali? Malah bengong disini. Udah cepetan pergi!” Aku mengusir semua orang kecuali Papaku yang ada dalam kamarku. Mereka pun pergi dengan muka tertunduk seperti yang dilakukan Pak Ali.
            Tinggallah Papa di dalam bersamaku. Kali ini kami berada dalam kediaman untuk sejenak, dan Papa pun mulai berbicara.
            “Apa kamu akan mengusir Papa?” Pertanyaan yang singkat namaun menancap erat di pikiranku. Terdengar sebuah sindiran atas perlakuanku kepada pegawai-pegawai rumah Papa yang aku sadari sangat tidak sopan.
            “Tentu tidak ,Pa.” Aku kembali terdiam dan mamandangi air muka Papa yang menyiratkan kesedihan, harapan dan kekecewaan.
            “Rachel, kamu itu anak yang pintar. Bahkan kamu bisa memahami tiap pelajaran yang diberikan oleh guru home schooling yang kualitasnya terbaik se-Indonesia dalam keadaan sakit parah. Tapi setidaknya jaga kesopanan kamu, Nak. Mereka itu orang-orang yang lebih tua dari kamu dan berjasa untuk kita. Papa tahu. Kamu bersikap tak sopan karena kamu tertekan atas kondisi kamu. Tapi setidaknya hargai mereka sedikit saja.” Papa kembali berprolog menyebalkan.
            “Pa, aku capek. Aku males berdebat.” Aku berniat menyudahi pembicaraan kami dan menginginkan Papa untuk pergi dari kamarku.
            “Ya sudah, Papa mau ngurusin kerjaan Papa dulu. Papa tadi nyuruh Bu Resty pulang. Toh kamu baru aja pingsan jadi pastinya tidak siap menerima pelajaran.” Papa melangkah keluar kamar dan menutup pintu kamarku.
            Tinggallah aku sendiri dalam kamarku. Menikmati hawa sepi yang sangat aku puja. Ku palingkan wajahku ke kanan. Dan nampak meja berlapis cat putih bersih yang diatasnya berderet rapi obat-obatan untuk penyakit kankerku ini. Pemandangan yang sangat membosankan bagiku. Sudah 13 tahun pemandangan itu selalu menghiasi kamarku walaupun desain kamarku sudah berubah. Aku bahkan bertanya

Sabtu, 23 Februari 2013

Satu Nafas Terakhir, Part 01


Cerbung
Genre : Sad Romance

            Seandainya aku bisa memilih, aku tak akan memilih untuk dilahirkan di dunia ini. Aku lebih memilih untuk hidup selamanya di surga tanpa harus diuji di tempat di tempat siksaan dan penderitaan bernama bumi ini.
            Tapi Tuhan berkata lain. Seperti pada dasarnya, sesuatu yang baik akan selalu diiringi dengan sesuatu yang buruk. Begitu pun takdirku. Ku rasa, takdirku berat sebelah. Takdir burukku lebih berat darpada takdir baikku.
            Sejarahku sangat pahit. Mungkin setara dengan pahitnya buah maja. Entahlah. Masa kecilku ku habiskan bersama Papaku. Jangan bertanya soal Mamaku. Aku bahkan tak pernah melihat mata eloknya secara langsung. Mamaku meninggal saat aku dilahirkan. Kandungan Mamaku terkena komplikasi dan hanya aku yang bisa diselamatkan. Itu pun dengan jalan menyayat kulit rahim Mamaku. Menyakitkan bukan? Tentu.
            Dan saat masa sekolahku, aku hanya menghabiskannya di rumah. Menatap lugu wajah guru dalam atmosfer rumah yang pengap akan hiruk piruk keasyikan dunia luar. Aku home schooling dari TK hingga SMA kelas XII saat ini. Fisikku sangat lemah hingga aku tidak diperbolehkan untuk menimba ilmu di sekolah umum.
            Pepatah ‘ bagai burung dalam sangkar emas’ memang berlaku dalam hidupku. Harta? Aku berharap kau tak bertanya soal itu. Aku yakin perlu waktu 1 jam untuk mendiskripsikannya. Itu pun jika tidak ada jeda. Tapi manusia butuh bernafas. Jadi ku yakin akan lebih dari 1 jam untuk mendiskripsikannya. Intinya, Papaku adalah orang yang sangat kaya dan mendapat predikat orang terkaya se-ASIA.
            Tapi apa arti harta jika aku akan meninggalkannya sebentar lagi? Mungkin 1 atau 2 bulan lagi. Atau bahkan 5 menit lagi aku akan menghembuskan nafas terakhirku. Mungkin saja. Penyakit kanker jantung yang menggerogoti tubuhku dari saat ku kanak-kanak kini sudah mencapai stadium akhir. Artinya, instrument lagu kematianku sudah siap untuk disenandungkan. Sudah tak ada harapan lagi untukku saat ini. Tidak mungkin ada orang yang mau merelakan nyawanya hanya untuk seseorang yang tidak ia kenal sepertiku. Aku pun tak tega untuk merenggut nyawa seseorang yang diberi kesempatan Tuhan untuk hidup lama. Untuk bisa merajut mimpi dan mewujudkannya kelak di suatu hari. Untuk bisa menikmati indahnya berumah tangga. Untuk bisa melihat anak cucunya tertawa ceria di sekelilingnya. Untuk bisa meninggal dunia secara wajar.
            Aku tak ingin dan tak akan menjadi monster yang merenggut kegemilangan itu. Ini takdirku dan aku tak ingin menyeret seorangpun dalam takdir kelamku ini. Biarkan saja aku yang merasakannya. Tertatih nestapa dalam kelamnya dunia.
***
            Sedari tadi aku masih melempar pakan ikan di danau buatan yang terhampar di depanku ini. Terbukti kan. Papaku orang yang sangat kaya raya hingga bentukan alam berupa danau pun bisa dibuatnya. Danau ini sudah menjadi teman setiaku saat aku masih kanak-kanak. Dan dalam danau ini, terdapat ratusan ikan koi yang ku pelihara sejak aku kecil.
            Teringat saat dulu ku merengek meminta dibuatkan danau di belakang rumah. Sangat konyol memang. Dulu aku bermimpi akan menjadi putri duyung yang cantik jelita dengan segerombolan ikan koi yang hidup di danau itu. Tapi sekarang, mimpi itu menjadi hal konyol dalam sejarah hidupku. Putri duyung hanya hidup di negeri dongeng. Dan sekarang aku hidup di dunia nyata. Imajinasiku terlampau tinggi saat aku masih kanak-kanak.
            Aku menenggelamkan kakiku hingga air menyentuh mata kakiku. Menggerak-gerakannya pelan. Mengundang kawanan ikan mendekatinya. Gerakan lembut ikan yang melewati kakiku membuatku merasakan kedamaian.
            Aku mulai menghela nafas panjang. Menghembuskannya dengan lembut seraya berkata
            “Fishy,  pagi yang sangat cerah untuk hari ini. Tapi awan pekat tak kunjung pergi dari hatiku. Hatiku masih kelam. Saatnya akan segera tiba. Saat-saat dimana kita tak bisa bermain bersama lagi seperti saat ini. Saat-saat dimana aku tak bisa memberimu makan seperti sekarang ini. Dan saat-saat aku berbagi kisah bersamamu seperti saat ini. Kalau aku sudah benar-benar pergi, jangan nakal ya. Berkembangbiak yang banyak. Jadilah maskot keberuntungan bagi Papaku. Hibur Papaku saat dia sedang suntuk. Ok!” Mungkin aku sudah gila. Berbicara sendiri dengan ikan-ikan yang jelas-jelas berbeda bahasa denganku. Tapi faktanya, ini sudah menjadi ritualku jika aku berada di danau ini. Mengadu pada segerombolan ikan yang menjadi teman hidupku. Aku sangat menyayangi mereka hingga mereka ku beri nama Fishy.
            Aku menatap hamparan pohon yang ada di seberang danau. Matahari sudah agak condong membentuk sudut 45 derajad. Aku melirik arlojiku. Pukul 09.00. Saatnya untukku pulang. Bersiap untuk