Cerbung
Genre : Sad Romance
Seandainya aku bisa memilih, aku tak
akan memilih untuk dilahirkan di dunia ini. Aku lebih memilih untuk hidup
selamanya di surga tanpa harus diuji di tempat di tempat siksaan dan
penderitaan bernama bumi ini.
Tapi Tuhan berkata lain. Seperti
pada dasarnya, sesuatu yang baik akan selalu diiringi dengan sesuatu yang
buruk. Begitu pun takdirku. Ku rasa, takdirku berat sebelah. Takdir burukku
lebih berat darpada takdir baikku.
Sejarahku sangat pahit. Mungkin
setara dengan pahitnya buah maja. Entahlah. Masa kecilku ku habiskan bersama Papaku.
Jangan bertanya soal Mamaku. Aku bahkan tak pernah melihat mata eloknya secara
langsung. Mamaku meninggal saat aku dilahirkan. Kandungan Mamaku terkena
komplikasi dan hanya aku yang bisa diselamatkan. Itu pun dengan jalan menyayat
kulit rahim Mamaku. Menyakitkan bukan? Tentu.
Dan saat masa sekolahku, aku hanya
menghabiskannya di rumah. Menatap lugu wajah guru dalam atmosfer rumah yang
pengap akan hiruk piruk keasyikan dunia luar. Aku home schooling dari TK hingga
SMA kelas XII saat ini. Fisikku sangat lemah hingga aku tidak diperbolehkan
untuk menimba ilmu di sekolah umum.
Pepatah ‘ bagai burung dalam sangkar
emas’ memang berlaku dalam hidupku. Harta? Aku berharap kau tak bertanya soal
itu. Aku yakin perlu waktu 1 jam untuk mendiskripsikannya. Itu pun jika tidak
ada jeda. Tapi manusia butuh bernafas. Jadi ku yakin akan lebih dari 1 jam
untuk mendiskripsikannya. Intinya, Papaku adalah orang yang sangat kaya dan
mendapat predikat orang terkaya se-ASIA.
Tapi apa arti harta jika aku akan
meninggalkannya sebentar lagi? Mungkin 1 atau 2 bulan lagi. Atau bahkan 5 menit
lagi aku akan menghembuskan nafas terakhirku. Mungkin saja. Penyakit kanker
jantung yang menggerogoti tubuhku dari saat ku kanak-kanak kini sudah mencapai
stadium akhir. Artinya, instrument lagu kematianku sudah siap untuk
disenandungkan. Sudah tak ada harapan lagi untukku saat ini. Tidak mungkin ada
orang yang mau merelakan nyawanya hanya untuk seseorang yang tidak ia kenal
sepertiku. Aku pun tak tega untuk merenggut nyawa seseorang yang diberi
kesempatan Tuhan untuk hidup lama. Untuk bisa merajut mimpi dan mewujudkannya
kelak di suatu hari. Untuk bisa menikmati indahnya berumah tangga. Untuk bisa
melihat anak cucunya tertawa ceria di sekelilingnya. Untuk bisa meninggal dunia
secara wajar.
Aku tak ingin dan tak akan menjadi
monster yang merenggut kegemilangan itu. Ini takdirku dan aku tak ingin
menyeret seorangpun dalam takdir kelamku ini. Biarkan saja aku yang
merasakannya. Tertatih nestapa dalam kelamnya dunia.
***
Sedari tadi aku masih melempar pakan
ikan di danau buatan yang terhampar di depanku ini. Terbukti kan. Papaku orang
yang sangat kaya raya hingga bentukan alam berupa danau pun bisa dibuatnya.
Danau ini sudah menjadi teman setiaku saat aku masih kanak-kanak. Dan dalam
danau ini, terdapat ratusan ikan koi yang ku pelihara sejak aku kecil.
Teringat saat dulu ku merengek
meminta dibuatkan danau di belakang rumah. Sangat konyol memang. Dulu aku
bermimpi akan menjadi putri duyung yang cantik jelita dengan segerombolan ikan
koi yang hidup di danau itu. Tapi sekarang, mimpi itu menjadi hal konyol dalam
sejarah hidupku. Putri duyung hanya hidup di negeri dongeng. Dan sekarang aku
hidup di dunia nyata. Imajinasiku terlampau tinggi saat aku masih kanak-kanak.
Aku menenggelamkan kakiku hingga air
menyentuh mata kakiku. Menggerak-gerakannya pelan. Mengundang kawanan ikan
mendekatinya. Gerakan lembut ikan yang melewati kakiku membuatku merasakan
kedamaian.
Aku mulai menghela nafas panjang.
Menghembuskannya dengan lembut seraya berkata
“Fishy, pagi yang sangat cerah untuk hari ini. Tapi
awan pekat tak kunjung pergi dari hatiku. Hatiku masih kelam. Saatnya akan
segera tiba. Saat-saat dimana kita tak bisa bermain bersama lagi seperti saat
ini. Saat-saat dimana aku tak bisa memberimu makan seperti sekarang ini. Dan
saat-saat aku berbagi kisah bersamamu seperti saat ini. Kalau aku sudah
benar-benar pergi, jangan nakal ya. Berkembangbiak yang banyak. Jadilah maskot
keberuntungan bagi Papaku. Hibur Papaku saat dia sedang suntuk. Ok!” Mungkin
aku sudah gila. Berbicara sendiri dengan ikan-ikan yang jelas-jelas berbeda
bahasa denganku. Tapi faktanya, ini sudah menjadi ritualku jika aku berada di
danau ini. Mengadu pada segerombolan ikan yang menjadi teman hidupku. Aku
sangat menyayangi mereka hingga mereka ku beri nama Fishy.
Aku menatap hamparan pohon yang ada
di seberang danau. Matahari sudah agak condong membentuk sudut 45 derajad. Aku
melirik arlojiku. Pukul 09.00. Saatnya untukku pulang. Bersiap untuk
menjalani
hal yang paling ku benci di rumah.
Aku mengambil ancang-ancang untuk
berdiri. Melangkahkan kaki menyusuri tanah yang berlapis rumput hijau segar.
Dapat ku rasakan lembut belaiannya. Salah satu anugerah yang akan ku rindukan
saat aku sudah benar-benar pergi dari dunia ini.
Ku hirup udara sebanyak mungkin.
Memastikan mendapatkan oksigen yang banyak untuk memenuhi hasratku untuk
bernafas. Ku memejamkan mataku, memejamkan surga terhampar di depan mataku.
Tempat yang menjadi tujuan semua orang setelah meninggal. Emmm. Aromanya begitu
wangi, bukan seperti aroma bumi. Aaah, ini bukan bumi. Ini gudang penyiksaan
untuk hidupku. Tak ada keindahan yang tersaji. Kalaupun ada, keindahan itu
hanya ilusi belaka, tidak benar-benar ada. Buktinya, hidup sehat dan bahagia
tak kunjung ku rasakan. Aahhh aku muak.
Aku
berlari menumpahkan kekesalanku. Jarak rumahku dengan pijakan kakiku sudah
semakin dekat. Kira-kira 5 sampai 10 meter. Tapi ku rasakan napasku berubah
tersendat-sendat. Dadaku terasa sesak, dan kepalaku terasa berat. Ku rasa akan
terjadi sesuatu yang biasa terjadi padaku. Benar saja. Dari mulutku keluar
cairan merah segar yang menyembur dengan derasnya. Langkahku menjadi
pontang-panting, dan akhirnya aku pun terjungkal jatuh.
Saat aku terkapar, dadaku
masih terasa sakit. Aku hanya bisa merintih dan semuanya pun terasa memudar.
Hingga akhirnya...#Tunggu part selanjurnya ya.... 1 minggu lagi :)
Author : Butterfly
Tidak ada komentar:
Posting Komentar