Linangan
air mata meledak saat ingatanku menerawang jauh ke masa lalu. Tepat saat Bulan
Ramadhan 2010, terjadi peristiwa yang mampu mengacaukan separuh hidupku. Saat
itu matahari tampak malu-malu bersembunyi di kubu sang awan.
“Hayo.. ngelamun mulu entar kesambet
lho.” Kak Reny mengagetkanku dengan kata-katanya.
“Aaah, Kak Reny ngagetin aja. Gini
lo Kak, di surau tempat aku ngaji, ada lomba baca Al- Qur’an tingkat kecamatan.
Setiap anak boleh ikut, dengan syarat mempunyai Al- Qur’an. Aku kepingin ikut
Kak, tapi kita kan gak punya Al-Qur’an.” Curhatku.
Kak Reny terbungkam sejenak.
Kerudung biru yang dikenakannya nampak indah bergoyang-goyang ditiup angin. Aku
yakin Kak Reny sedang memutar otaknya untuk membeli Al-Qur’an. Bukan perkara
mudah bagi kami yang berpenghuni di gubuk reot dan mencari makan dengan
mengaisi sampah membeli Al-Qur’an yang harganya sekitar Rp 25.000.
Kak Reny menatapku dan mulai
berbicara.
“Lombamu berapa hari lagi?” Tanya
Kak Reny pada adiknya yang berumur 12 tahun ini.
“ Sekitar seminggu lagi Kak.” Waktu yang singkat untuk
memenuhi tabungan membeli Al-Qur’an.
“Kakak akan beliin kamu Al-Qur’an sehari
sebelum kamu lomba. Gak papa kan?” Tanya Kak Reny.
“Gak papa Kak. Makasih ya.” Aku
merengkuh ke dekapan Kak Reny. Ku rasakan detak jantung yang penuh ketulusan
itu tenang berpacu.
***
Kak Reny lebih giat bekerja
mencari uang untukku. Selain mulung, sekarang dia juga nyambi ngamen, jadi
buruh cuci, tukang bawa belanjaan di pasar dan pekerjaan-pekerjaan lain yang
halal. Maklum lah, tak ada sosok orang tua di sisi kami yang memberi nafkah.
Kak Reny menjadi sosok pahlawan di masa Milenium seperti sekarang ini. Pahlawan
yang menjaga adiknya dibalik gubuk reot di pinggiran Kota Jakarta.
Aku pun lebih giat berlatih agar
bisa menang di lomba baca Al-Qur’an tingkat Kecamatan. Setiap habis sholat Isya’
sampai pukul 9 malam, aku melatih kemampuan baca Al-Qur’an-ku di surau dengan
dibimbing Kyai Gustaf. Memertajam ilmu tajwid dan menyenandungkan lagu nahawan
semerdu yang ku bisa.
“Dina, besok kamu sudah lomba kan?”
Tanya Kak Reny membuka percakapan saat buka puasa kali ini.
“Iya Kak, ada apa?” Pertanyaan
tertimpal di jawabanku.
Tiba-tiba suasana menjadi hening.
Kak Reny terbungkam dan bunyi ban kendaraan yang bergesek dengan aspal memenuhi
ruangan dimana kami berada.
“Uangnya baru 22.000. Besok waktu
kamu mau lomba, Kakak langsung nyari tambahan uang dan Al-Qur’an-nya langsung
Kakak anter pas kamu udah lomba ya. Mau?” Aku tahu Kak Reny mengatakan itu
dengan berat hati. Tersirat rasa bersalah karena tak bisa memenuhi keinginanku
tepat waktu.
“Iya Kak, tapi sebelum lomba dimulai
ya.”
***
Aku cemas menanti kedatangan Kak
Reny. Sudah 2 jam aku menunggunya di pelataran kantor kecamatan ini. Aku mulai
cemas. Takut kalau Kak Reny tidak datang.
Beberapa saat kemudian, ku lihat Kak
Reny mengenakan kerudung kuning sedang berlari menghampiriku. Aku pun berdiri
dan setengah berlari menghampirinya. Dan tibalah saat mencengangkan dalam
hidupku.
Saat Kak Reny berada tepat di tengah
jalan, sebuah motor berkecepatan tinggi menabraknya. Tak terbendung kekagetanku
yang tentu saja bercampur dengan kesedihanku.
Aku pun berlari menuju Kak Reny yang
tergeletak sendiri akibat tabrak lari. Aku duduk di dekat tubuhnya yang
terkapar nan bermandikan darah. Tangan kanannya memegang Al-Qur’an yang masih
suci tanpa secercah darah.
“Kak Reny.” Dalam tangis aku
memanggilnya seolah bisa merubah keadaan menjadi lebih baik.
“Jangan menangis Dek. Yang harus
adek lakuin hanya menang lomba. Ini Al-Qur’an yang Kakak janjikan. Mungkin ini
pemberian terakhir Kakak.” Kata-kata Kak Reny menggemparkan diriku.
“Kakak gak boleh ngomong gitu. Kakak
akan baik-baik aja.” Kataku meyakinkan Kak Reny.
“Berjanjilah untuk menang.” Kak
Reny menutup matanya. Saat itu juga,
terhembus nafas terakhir dari dirinya. Saat itu sungguh getir Ramadhan yang
sangat pahit dalam hidupku.
Tapi Allah selalu adil. Aku mendapat
juara I lomba baca Al-Qur’an. Tidak itu saja. Aku pun menemukan keluarga baru
yang dengan senang hati mengadopsiku menjadi anak bungsu mereka. Dan bagian
yang lebih indah lagi adalah aku mempunyai Kakak adopsi perempuan yang setia
menemaniku. Di Bulan Ramadhan 2012 ini, aku sadar kalau Kak Reny belum pergi.
Ia masih di sisiku menjelma menjadi sosok Kakak perempuanku yang sekarang ini.
Author : @NurdianaLina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar