Kamis, 24 April 2014

Tamu Rumah Terakhir


Sedari tadi mata sayu yang dikelilingi oleh keriput itu tak henti memandangi mega merah yang beradu. Bak tumpahan jus jeruk yang menumpahi langit Illahi. Pandangan wanita tua itu terlihat kosong, tak seperti langit yang bercerita lewat awan-awan, pikiran wanita tua itu berkelana, berusaha menghubungkan benang-benang merah yang terputus dalam lingkaran otaknya. 

Ia tak henti memandang langit yang memerah. Meniti matahari yang sebundar tampah menuruni ujung langit. Wanita tua itu pun tak henti menyambung benang merah dalam fikirannya. Menyambung alasan  atas apa yang ia gelisahkan. Wanita tua itu mulai menarik napas panjang. Menghembuskannya kembali dan debu tak kasat mata di depannya pun berputar-putar.

“Duh Gusti.. Hamba merindukan anak hamba. Sudah lama ia tak berkunjung ke rumah hamba. Rumah yang sempit dan pengap ini.” Wanita tua itu merintih di depan rumahnya. Bulir-bulir air mata pun jatuh, membasahi tunas rumput yang ingin menyembulkan dirinya ke atas tanah. Ia rindu pada anak lelaki satu-satunya. Ia ingin berbincang padanya karena memang tak ada seorangpun yang tinggal bersama dengannya.

Pikirannya pun melayang di udara. Seolah berubah menjadi sosok lain dirinya yang berenang-renang di udara. Menceritakan pendapatnya tentang alasan atas apa yang ia gelisahkan.

“Anakmu mungkin sudah melupakanmu. Anakmu lebih memilih menghabiskan waktu dengan wanitanya ketimbang denganmu. Anakmu lebih memilih pergi berkunjung ke kantornya daripada rumah orang yang sudah mempertaruhkan nyawanya demi dia. Tak usah kau menghabiskan air matamu untuk menangisi orang yang belum tentu memikirkanmu. Lebih baik simpan air matamu untuk menangisi dosa-dosamu di masa lalu.” Suara itu membisiki perempuan tua yang kesepian itu.

Tangannya pun menyapu air mata di pipi. Mencoba menampik bisikan dari bayangannya agar terpental jauh dari pikirannya. Ia memijat keningnya yang sedari tadi berdenyut. “Anakku tak mungkin melupakanku” pikirnya.

Ingatannya pun terputar pada masa silam. Saat pertama kali sinar mentari menembus kornea mata anaknya dan anaknya pun menangis karena kaget melihat sinar mentari untuk pertama kalinya. Saat ia menasehati anak tersayangnya dari kesalahan yang ia buat. Saat pertama kali melepas anaknya merantau untuk mencari pekerjaan. Dan saat yang tak pernah ia lupakan, yaitu saat dia menyaksikan anak semata wayangnya mengucapkan ijab qabul untuk menimang wanita pujaannya.

Ia ingat betul wajah istri dari anaknya. Dia wanita yang tak begitu cantik, tapi sedap dipandang mata. Ia sangat menyukai senyum istri anaknya. Senyumnya membuat orang yang melihatnya sejenak menghela nafas dan ikut tersenyum. Wanita itu membersihkan pipinya yang sedari tadi teraliri air matanya. Tidak terasa ia pun juga merindukan menantunya.

Wanita itu berdiri. Sejenak memikirkan rencana yang sudah ada di benaknya yang sudah lama. Bagaimana pun yang terjadi, besok ia akan pergi ke rumah anaknya. Apapun yang terjadi, ia akan meminta anak dan menantunya untuk berkunjung ke rumahnya. Wanita tua itu pun pergi ke dalam rumahnya. Rumah yang sempit dan pengap, bahkan tak seorangpun ingin tinggal di rumahnya itu.

***

Mentari telah terbit sekitar 2 jam yang lalu. Wanita tua itu pun bersiap untuk pergi ke rumah anaknya. Walaupun dengan jarak sekitar 2 km dari rumahnya, wanita tua itu rela menempuh jarak sejauh itu dengan berjalan kaki. Wanita tua itu tak sanggup untuk membayar ongkos kendaraan, karena memang wanita itu tak punya uang sepeserpun.

Dan akhirnya, setelah melewati jarak yang jauh dan dengan keringat yang bercucuran disana-sini, wanita tua itu pun sampai di rumah anaknya. Pintu rumah anaknya terbuka. Wanita tua itu tak lantas masuk ke dalam rumah anaknya. Dengan kesopanan yang masih ia miliki, ia ingat untuk mengucap salam terlebih dulu sebelum menapakan kaki saat bertamu, termasuk rumah anaknya sendiri.

“Assalamualaikum..” Wanita tua itu mengucap salam. Suasana masih hening. Tak ada sahutan dari dalam rumah itu. Hanya ada suara detak jarum jam yang ada di ruang tamu. Wanita tua itu dengan ragu mengucap salam keduanya.

“Assalamualaikum..” Kali ini usaha wanita tua itu tidak nihil. 2 kepala menyembul dari dalam rumah menuju ruang tamu. Ternyata anak yang digadang-gadangnya telah siap untuk berangkat kerja, dengan istrinya di sampingnya.

“Hati-hati ya, Pak.” Menantunya itu pun mencium tangan suaminya.

Lelaki itu langsung pergi melewati wanita tua itu. Wanita tua yang tak lain adalah Ibunya sendiri. Tanpa pandangan sedikitpun apalagi sepatah katapun. Hati wanita tua itu serasa dipukul dengan rotan. Sakit.

Sementara itu menantunya nampak sedetik memandang wajah wanita tua itu. Sedetik saja, kemudian kembali ke dalam rumah. Wanita tua itu memegang dadanya yang sesak. Bulir air mata tak tahan lagi untuk terjatuh. 

Dengan terpaksa ia pun mengabaikan etika bertamu. Dia duduk di kursi ruang tamu sambil mengusap-usap air matanya. Pikirannya melayang di udara. Ingatan wanita tua itu menghantarkannya pada kejadian dulu. Mencoba mencari apa alasan hingga anaknya sendiri tak menganggap kehadirannya, Ibu kandungnya. Apa mungkin karena wanita tua itu terlalu keras mendidik anaknya dulu. Tapi wanita tua itu mendidik dengan keras demi kebaikan anaknya. Dia tak ingin anaknya menjadi pria yang lembek. Ia ingin anaknya menjadi pria yang tangguh. Atau mungkin, begitulah nasib orang tua seperti wanita tua itu. Terlupakan. Bahkan seakan tak pantas diajak bicara oleh anaknya sekalipun. Wanita tua itu menyeka air matanya.

“Duh Gusti. Sadarkan hati anak hamba. Hamba rindu padanya. Hamba ingin sekali dia berkunjung ke rumah hamba. Duh Gusti, ubah sikapnya pada hamba. Jangan biarkan dia berlaku durhaka seperti tadi pada hamba. Hamba tak ingin kelak dia disiksa di dalam api neraka karena sikapnya itu. ” Wanita itu merintih dalam hati pada Sang Pencipta.

Wanita tua itu berdiri. Memegang pinggangnya yang terasa linu saat ia berdiri. Kembali melangkahkan kakinya untuk pulang. Dengan tanpa apa-apa kecuali kekecewaan yang terpaksa ia telan.

***

Wanita tua itu kembali duduk di depan rumahnya. Dengan pandangan kosong, ia menerawang jauh. Melihat kanan kirinya, rumah-rumah tetangganya. Rumah tetangganya yang sama sepinya seperti rumahnya.

Wanita tua itu mendengar sesuatu di belakangnya. Ia pun berbalik badan. Senyum tersungging di bibirnya, melihat anak dan menantunya akhirnya berkunjung ke rumahnya. Anaknya tersenyum, kemudian dengan istrinya merapal doa untuk wanita tua itu. Kemudian mereka pun menyekar rumah wanita tua itu, yang mana mereka dan orang-orang lain sebut sebagai makam.

Wanita tua itu tak henti-hentinya tersenyum. Tamu yang dirindukannya, telah bertamu. Begitulah orang tua. Walau jasadnya telah tiada, beliau ingin selalu dikenang oleh anak-anaknya.

Cerpen ini pernah dimuat di http://blokbojonegoro.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar