Aku hafal
betul kebiasaan kakek berusia 70 tahun itu setiap pagi. Ia selalu memamerkan
senyum sepuluh sentinya dan mengucapkan ‘assalamualaikum’ pada orang yang lewat
di depan rumahnya. Kebanyakan orang yang ia sapa akan membalas sapaannya dengan
senyum yang dipaksakan. Entah apa yang menyebabkan orang itu menganggap
keramahan Si Kakek sebagai sesuatu yang menjijikkan.
Dialah Kakek Rasim. Kakek yang
tinggal seorang diri di samping rumahku. Orang pertama yang menerima
kedatanganku dengan tangan terbuka saat kepindahanku satu bulan yang lalu.
Orang yang membuatku nyaman tinggal di rumah baruku karena keramahannya.
Namun, ada
satu hal yang selalu membuatku bingung. Aku sering mendapati segerombolan ibu
rumah tangga yang sejenak berhenti dan bergunjing di depan rumah Kakek Rasim.
“ Iya, itu
rumahnya.” Tutur seorang ibu rumah tangga. Setelah sejenak para ibu itu
mengamati rumah Kakek Rasim, para ibu itu pun bergegas untuk pergi. Aku heran
mengapa Kakek Rasim yang ramah bisa-bisanya dipandang seperti seorang
kriminalis.
Apa
mungkin karena pekerjaan Kakek Rasim? Jujur. Aku sangat penasaran dengan
pekerjaan Kakek Rasim. Aku yang sudah sebulan bertetangga dengannya, sampai
sekarang belum tahu apa sebenarnya pekerjaan Kakek Rasim. Yang aku tahu, Kakek
Rasim selalu pergi bekerja dengan onthel tuanya pagi-pagi dan pulang saat
matahari tepat di atas kepala.
Atau
mungkin, Kakek Rasim adalah seorang pedofil? Aaah, mana mungkin. Buktinya,
Tomi, anakku yang baru berusia 5 tahun baik-baik saja setiap berkunjung ke
rumahnya. Bahkan Tomi betah berkunjung di rumah Kakek Rasim.
Lalu,
apa yang salah dengan Kakek Rasim?
***
Aku
berjalan menyusuri jalan beraspal yang mulai berwarna kusam. Tak mau
ketinggalan, lubang di sana sini pun ikut menggerogoti jalanan membentuk motif
polkadot di atas karpet aspal.
Pasar,
tempat tujuanku sudah melambai di ujung sana. Banyak ibu rumah tangga yang
berjalan berlawanan arah dariku yang sepertinya usai dari pasar. Mereka pun
tersenyum dan menyapaku.
Suasanan ramah
tamah yang kental membuatku kagum dan betah tinggal di desa ini. Namun ada satu
hal lagi yang mengganjal dalam hatiku. Dari saat aku pindah hingga sekarang,
aku tak pernah melihat ada orang yang bersepeda motor ataupun mengendarai mobil
yang lewat. Apakah hal itu dilarang di sini? Lantas, mengapa?
Kakiku pun
melangkah di bibir pasar. Dari kejauhan, aku menangkap bayangan yang telah ku
kenal baik sedang duduk di tepi jalan. Kakek Rasim sedang menatap lurus ke
jalan. Kepalanya menggeleng ke kanan-kiri dengan kecepatan yang lambat dengan mata
yang awas mencari sesuatu. Sebenarnya apa yang sedang dilakukan Kakek Rasim?
“Iya, itu
Kakek Rasim. Iya, aneh bukan.....” Sayup-sayup ku dengar nama Kakek Rasim
disebut. Sontak aku menengok asal suara itu dan ku dapati segerombolan ibu
rumah tangga sedang asyik bergunjing. Kakiku melangkah tanpa perintah untuk
bergabung dalam kerumunan itu.
“Maaf, Bu. Ada
apa ya?” Aku bertanya pada ibu berpostur gembul yang sepertinya menjadi ketua
kelompok pergunjingan ini.
“Itu lho, Bu.
Kakek Rasim. Ibu lihat orang di seberang jalan itu?” Ibu itu menunjuk Kakek
Rasim.
“Iya,
Bu. Ada apa?” Tanyaku penasaran.
“Itu
Kakek yang suka mengganggu ketenangan, Bu. Maklum, Bu. Dia hidup sendiri. Sudah
tua pula. Tidak heran jika suka mencari sensasi.”
“Tapi,
Bu....”
“Eh,
becak Pak!”
Terpaksa,
aku menelan sisa pertanyaaku karena ibu itu mengejar becak yang lewat. Kembali
tanda tanya besar muncul di benakku. Misteri apa yang disimpan dibalik
keramahan Kakek Rasim?
***
Kali
ini aku sudah tidak tahan lagi. Ku beranikan diriku untuk bertanya pada Kakek
Rasim. Aku heran. Mengapa masalah sesepele ini begitu mengganjal di fikiranku?
Padahal Kakek Rasim bukan bagian dari keluargaku.
Aku
pun mengambil rantang yang berisi makanan yang ku persiapkan untuk Kakek Rasim.
Bukan hari ini saja aku mengirim makanan untuk Kakek Rasim. Hampir setiap hari
aku mengiriminya makan siang.
Aku
pun melangkah menuju rumah Kakek Rasim. Sengatan matahari pukul dua siang dan bunyi
gesekan sandal dan tanah sedikit membuat keberanianku pudar. Bukankah pekerjaan
itu sah-sah saja bila ditanyakan?
Aku
sampai di depan rumah Kakek Rasim. Ku ketuk pintu rumahnya dan sosok berkulit
sawo matang dengan kerutan yang memeluk tubuhnya pun membukakan pintu. Senyum
sepuluh senti yang memamerkan giginya yang sudah tidak lengkap pun tak
ketinggalan.
“Eh,
Dek Ani. Masuk dek.” Aku pun masuk dengan senyum mengembang di bibirku.
“Iya,
Kek.” Kakek Rasim duduk dan aku pun mengikutinya.
“Ini,
Kek. Saya bawa makanan buat Kakek. Semoga Kakek suka.” Ku sodorkan rantang
putih yang ku bawa. Tangan Kakek Rasim terulur menyambut rantangku.
“Terimakasih,
Dek Ani. Adek selalu baik pada saya.”
“Sama-sama,
Kek. Kakek juga selalu baik pada saya.”
Tawa
khas orang tua milik Kakek Rasim pecah. Aku pun ikut tertawa tanpa
menghilangkan rasa sopanku. Aku terdiam sejenak. Menimbang apakah ini waktu
yang tepat untuk melepaskan pertanyaan yang telah ku siapkan dari rumah.
“Kek,
maaf saya ingin bertanya. Sebenarnya apa pekerjaan Kakek? Kok saya lihat setiap
pagi kakek selalu pergi dengan onthel dan pulang setiap siang.
Kakek
Rasim terdiam sejenak. Mungkinkah aku salah bicara?
“Pekerjaan
Kakek itu sederhana, Dek. Kakek menjaga setiap orang agar tidak lupa arti
keramah-tamahan. Agar setiap orang tetap bertegur sapa.” Senyum sepuluh senti
Kakek Rasim kembali berkembang.
Aku
terdiam. Sedikit berfikir. Apa ada pekerjaan yang tidak masuk akal seperti itu?
Lantas jika ada, pekerjaan macam apa itu?
Aku
sadar sudah lama aku berfikir dalam diam. Aku pun pamit kepada Kakek Rasim.
Dalam perjalanan pulang yang hanya membutuhkan tidak lebih dari 50 langkah,
otakku tak henti memikirkan apa sebenarnya pekerjaan Kakek Rasim. Bertanya
bukannya memberiku titik terang, namun membuat tanda tanya di kepalaku menjadi
lebih besar.
“Bu
Ani! Dari mana?” Lamunanku buyar oleh tangan yang menepuk pundakku. Ku tengok
asal suara itu. Bu Sari.
“Oh.
Dari rumahnya Kakek Rasim. Baru saja memberi makanan dan berbincang sedikit
dengan Kakek Rasim.” Jawabku dengan senyum mengembang di bibirku.
“Loh!
Bukannya Kakek Rasim sudah meninggal tadi karena serangan jantung. Warga segera
melarikannya ke rumah sakit tapi terlambat. Maklum lah Bu, diantar becak mana
bisa cepat? Dari dulu, setiap motor dan mobil yang melintas selalu digembosi
bannya oleh Kakek Rasim. Hasilnya, sampai sekarang tidak ada mobil atau motor
yang lewat di sekitar sini. Katanya, agar setiap warga tetap saling menyapa.
Tapi caranya cukup meresahkan warga, Bu.”
Jantungku
bergetar. Bulu kudukku meremang. Jadi, tadi yang berbincang denganku?
Mungkinkah? Arwah Kakek Rasim. Arwah yang masih sangat ramah walau tanpa raga.
Alhamdulillah, cerpen ini dimuat di Radar Bojonegoro edisi 1 Juli 2014
Wah twist yg menarik, menggunakan bahasa yang apik, tak heran cerpen ini dimuat 😊
BalasHapusTerima kasih 😊
Hapus