Kamis, 06 September 2012

A Hope




While you had a hope, you were trying to create it.
            You wouldn’t give in.
            Until it was created.
            But I wasn’t so.

            Di sudut kamarku , aku biasa menghabiskan malamku, untuk menanti fajar tiba. Aku memang punya penyakit insomnia. Insomnia-ku ini, bukan tanpa disengaja. Tapi aku sengaja.
            Seperti sekarang ini. Aku berjuang melawan rasa kantukku yang sudah hambar rasanya. Sangat lemah, karena ku sudah terbiasa membendungnya. Bertemankan i-phone dan diaryku, aku berdiam diri di sudut kamar. Ku putar lagu-lagu yang menggambarkan sosok seorang gadis yang patah hati karena cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Alunan melodi itu menuntunku untuk menuangkan emosiku di setiap lembar diaryku.

            Dear Diary

            Seperti malam-malam sebelumnya, aku kembali menorehkan setiap detil emosiku kepadamu. Aku sangat tersiksa dengan rasa cintaku padanya. Aku ingin membakar habis rasa ini. Tapi aku tak punya kekuatan lebih. Setiap kali aku mencobanya, dorongan untuk memilikinya, merasakan belaian darinya, bisa menangis di dekapannya, mengelus pipinya, memeluknya, mendorongku sama hebatnya dengan saat pertama kali aku menyadari rasaku ini adalah perasaan cinta untuknya. Aku tak berdaya karena cintaku.
           
Aku terus berharap dia menambatkan hatinya padaku. Tapi itu hanya seongkoh harapan konyok. Aku sangat bodoh. Sudah jelas-jelas dia menyatakan cintanya pada cewek lain, aku masih saja mengharapkannya.
            Aku sangat heran padanya. Entah kekuatan apa yang diberikan padanya, sehingga auranya bisa menyeretku hingga bertekuk lutut memujanya. Saat ada dia, aku sungguh tidak bisa berpikir secara realistis. Dia seperti racun bagiku. Racun yang membuatku tetap bertahan melawan penyakitku, mesti itu membuat aku sakit. Kalau saja aku tidak mengidap penyakit sirosis, aku pasti akan memberikan perhatianku saat ia ditolak cewek yang ia tembak. Tapi apalah daya, aku tak bisa melakukannya. Meski begitu, aku tetap berharap suatu hari Ramon  Emeraldy Stevan, akan menyatakan cinta pada Jane Agnessia Blessing, yaitu aku. Sekarang, hanya satu tumpuan semangatku untuk melawan penyakitku. Harapan itu.
            Diary, akhir-akhir ini aku sering bimbang karenanya. Apakah dia masih mencintai cewek itu?  Atau dia secara diam-diam berbalik menaruh hatinya padaku? Sekarang dia seperti dulu. Kata temen-temenku, dulu dia menaruh hati padaku. Awalnya aku tak percaya. Bagaimana aku bisa percaya? Seorang Ramon yang mustahil untuk jatuh cinta dengan pemikirannya yang sangat lain dari remaja cowok lainnya, di usianya yang 15 tahun. Tapi perlahan-lahan aku mulai bisa percaya pada mulut tema-temanku. Dasarnya adalah, perhatiannya yang sangat berbeda dibanding perhatiannya pada temen ceweknya yang lain. Perhatiannya bisa dibilang berlebihan untuk ukuran anak seperti Ramon. Tapi toh itu sudah lama. Ditambah lagi dengan dia tak menyatakan cintanya padaku. Aku sangat bingung mengenai perhatiannya yang kembali seperti dulu. Tapi di lain pihak, dia tak mungkin dengan cepat bisa menghapus rasanya pada cewek yang dia tembak. Secara, dialah orang yang pertama kali yang ditembak Ramon.
            Diary, aku ingin rasa penasaranku terungkap. Agar aku bisa tenang menjalani kehidupan di alam setelah dunia ini. Apakah dia mencintaiku atau mencintai dirinya?
            Aku akan selalu memujamu, Marco Sang Pangeranku.

            Aku menutup diaryku. Tapi, saat diaryku baru setengah tertutup, cambukan dari rasa sakit akibat penyakitku menyambukku. Tak ada hal yang membantu mengurangi rsa sakit itu selain bergeliat. Aku terus bergeliat tanpa aturan menerjang gelombang rasa sakit itu. Tersembur cairan pekat berwarna merah dari mulutku. Rasanya seperti hatiku teremas-remas dan terinjak-injak. Sulit mengungkapkan rasa sakit itu dalam kata-kata.
            Aku menengok jam dinding yang tergantung di kamarku. Aku mencoba memahami jarum yang ditunjuk oleh jarum jam itu dengan penuh perjuangan. Hanya hal sepele, dan biasa ku lakukan. Tapi dalam keadaan ini, sangat amat sulit untuk dilakukan. Aku memandangnya beberapa menit, berkali-kali lebih lama dari biasanya. Pukul 04.00 pagi. Terlalu pagi untuk memulai sebuah siksaan. Tapi penyakit ini sungguh tak bissa diajak kompromi. Satu yang aku khawatirkan. Aku khawatir jika aku tak kuat dan berteriak. Aku takut keluargaku bakal khawatir padaku, dan bertanya apa yang sedang terjadi. Aku tak mungkin member tahu mereka tentang penyakitku. Aku tak mau menambah beban mereka. Mereka sudah sibuk dengan urusan mereka. Papa, mama ngurusin kantor. Kakak Sherin ngurusin skripsi dan kariernya sebagai model.
            Aku mulai mempunyai firasat buruk akan diriku. Rasa sakit ini melebihi batas. Aku belum pernah merasakan rasa sakit ini. Tampaknya Sang ajal akan segera menjemputku. Aku menjerit-jerit menahan kesakitan ini. Aku tak terbiasa menjerit. Aku yakin jeritanku tak mampu menggetarkan gendang telinga keluargaku. Meski aku rasa jeritanku ini sudah cukup kencang.
            Aku terus menjerit tiap detiknya. Aku merasa kerongkonganku sudah amat kering dan tercekat. Aku merasakan bibirku yang kering, meski itu berlumuran darahku. Aku rasa sudah cukup lama aku menjerit-jerit tak karuan. Ku lihat jam dinding untuk kedua kalinya. Oh God, jangan sekarang. Beri aku kekuatan untuk bertahan lebih lama lagi. Aku ingin di hembusan nafas terakhirku, aku ditemani Ramon.
            Sudah terlambat. Aku merasakan nafasku yang sudah tersenggal-senggal. Bronkilusku serasa menyempit. Alveolusku serasa sudah tak berisi. Paru-paruku serasa mengerut. Mataku remang-remang memandangi sekitar ruangan. Padahal lampuku tidak ku matikan. Semuanya berjalan tidak normal dan sangat menyiksaku. Tapi satu yang paling menyakitkan. Hatiku.
            “ Mama…….” Jeritku yang mungkin itu jeritan terakhirku.


***

            Aku mungkin sudah berada di alam lain. Menikmati hidup tanpa perasaan sakit lagi, bisa sepuasnya bernafas, bisa menikmati istirahatku yang tenang, seperti sekarang ini. Aku sangat bahagia di sini. Entah apa yang membuatku bahagia. Ramon tak ada di sini. Ramon yang sangat aku cintai berada di alam selain alamku. Aku masih sangat mencintainya, walau aku tahu aku sudah hijrah kea lam lain. Tapi tunggu! Bukankah Tuhan tidak menciptakan rasa setelah kehidupan di dunia? Lalu aku di mana?
            “ Aku minta bantuan kamu Mon. aku minta kamu jujur atas perasaanmu padanya. Kamu nggak ingin kan dia nggak tenang di alam sana?”
            “ Iya kak. Akan ku coba untuk jujur. Demi kebaikan Jane.”
            Aku mendengar suara yang tak asing lagi bagiku. Itu suara Ramon. Pangeran yang selama ini aku puja-puja. Pangeran yang selama ini menghiasi mimpi-mimpiku. Ini berarti aku belum meninggal. Aku masih di dunia. Aku harus bicara pada Ramon.
            Ku coba membuka mataku. Sangat berat untuk ku lakukan. Ku terus mencobanya dengan susah payah. Aku nggak boleh menyerah dengan ini. Aku yakin aku bisa. Ayo terus Jane, kamu pasti bisa!
            Aku nggak tau aku sudah mencobanya berapa kali. Mumgkin ratusan. Atau mungkin hingga tak terhingga. Aku menyerah. Ku coba cara lain untuk member isyarat kalu aku ingin mendengar kejujuran dari mulut Ramon. Ku coba membuka mulut yang terasa seperti terlem ini.
            “ Mmmmmhhhh” Aku mencoba satu kali dan langsung berhasil. Ku coba memanggil namanya.
            “ Ra,,,, Mon…..” Panggilku yang tak sempurna cara pengucapannya.
            “ Iya Jane.”
            “ Mmmmhh’ Aku hanya bisa melakukan itu lagi. Aku yakin ia tahu maksudnya. Aku butuh kejujurannya.
            “ Baik Jane, aku akan turuti maumu agar kau tenang. Maaf sebelumnya. Tapi aku masih mencintai Annisa, cewek yang aku tembak pertama kali. Aku memang awalnya suka sama kamu. Tapi waktu itu kamu masih pacaran. Jadi, maaf bila aku tak bisa membalas rasamu.” Sungguh sakit mendengar kata-katanya itu. Tapi mau bagaimana lagi. Itu yang ku mau. Kejujurannya, walau itu pahit.
            Aku mencoba tersenyum, dan itu berhasil.
            “ Terimakasih Jane, atas pengertianmu. Kan selalu ku kenang dirimu. Sampai bertemu di sana.”
            Terasa sentuhan lembut mendarat di keningku. Begitu hangat dam nyaman. Walau harapanku sirna, dan tidak bisa diwujudkan, setidaknya dia sudah menemaniku di saat-saat terakhirku. Itu sudah cukup bagiku. Sekarang, aku serahkan jiwaku pada-Nya. Aku takkan mengharapkan apapun lahi sekarang.
            Perlahan, suara serasa melebur. Tak ada lagi yang bisa ku dengar. Tak ada rasa sakit yang ku bayangkan. Kematian yang sungguh tenang.

            THE END

Author : @NurdianaLina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar